Mengingat pekerjaan pertama lumayan sulit bagi saya. Ini karena saya sudah menghasilkan uang sejak masih kuliah. Namun itu belum saya anggap sebagai pekerjaan beneran. Alasannya, itu bukan kantor resmi. Dari satu Bimbel ke sebuah Lembaga Bahasa Inggris, saya mendapatkan uang saku lumayan untuk zaman itu. Lumayan untuk biaya foto copy buku wajib dari dosen, lumayan buat beli bensin motor bebek saya tanpa harus meminta orang tua yang hanya satu-satunya, Sang Ibunda.
Saya punya sejumlah pengalaman berstatus pegawai namun sekaligus pegawai yang mengundurkan diri, termasuk saat saya sudah diberi NIP (Nomor Induk Pegawai) oleh sebuah Kementerian di Jalan Medan Merdeka Barat. Aneh kan? Itu karena saya mendapatkan pekerjaan selagi saya belum lulus sarjana, namun sudah bisa memanfaatkan Ijazah Sarjana Muda saya.
Ketahuan ya, saat itu sebelum menempuh program Sarjana penuh, ada satu tahapan yang lebih tinggi dibanding Diploma, namun lebih rendah dibanding Sarjana penuh, ya Sarjana Muda itu. Gelarnya saat itu adalah BA (Bachelor of Arts).
Sejak SD, saya adalah murid termuda, begitu terus sampai memasuki jenjang kuliah. Sayang sekali, saya melewatkan empat semester CUMA untuk mengisi KRS dengan satu mata kuliah, yaitu SKRIPSI. Saya terkendala dengan dosen yang "gampang-gampang sulit".
Dosen itu baik sama saya dalam arti dia obyektif memberi nilai, dalam mata kuliahnya saya nilainya bagus karena memang suka. Sayang dia suka menggoda mahasiswi. Jadilah saya terantuk batu. Antara harus tetap konsultasikan Skripsi saya dengannya sebagai dosen pembimbing, namun ada keengganan yang berat untuk menemuinya.
Dalam masa jeda itu, saya izin Ibu untuk mengisi waktu dengan mengambil kursus bahasa Inggris. Nggak tahunya, baru 4 bulan belajar, saya malah direkrut menjadi Asisten Guru di Kursus itu. Saya merangkap fungsi, sebagai Asisten Guru, sambil tetap menjadi siswa untuk tingkat lanjutan. Ada dag dig dug, ada kebanggaan, ada keasyikan -- dan tanpa terasa itu menjauhan minat saya untuk mengerjakan Skripsi.
Setiap ada waktu luang, saya pergi ke Perpustakaan kampus pusat untuk meminjam banyak buku berbahasa Inggris. Paham nggak paham, saya suka membaca segala buku. Dari psikologi sampai agama, dari bahasa sampai manajemen. Pokoknya yang bahasa Inggrisnya mudah dipahami, saya suka.
Nah, datanglah tawaran untuk bekerja di Desk Reservation, Front Office sebuah Hotel berbintang tertinggi di kota saya. Saya iseng mencoba, diterima. Belum dua bulan bekerja menjadi Reservation Clerk, saya diminta memberi kursus bahasa Inggris untuk pegawa internal di Hotel itu.
Saya bukan orang yang pemberani, jadi saya mau saja merangkap pekerjaan sebagai internal facilitator buat sesama karyawan, yang adalah teman-teman saya sendiri. Belum lama berselang, Hotel itu berulang tahun. Langsung saja Manajer Kepegawaian (HRD) menunjuk saya bertugas sebagai MC. Padahal, big boss dari Jakarta akan hadir, dan acara itu akan dihadiri oleh ratusan pebisnis yang menjadi rekanan dan klien Hotel.
Lagi-lagi, saya menyanggupinya. MC yang dilihat oleh sekian ratus pasang mata, berdiri di depan mikrofon dan menjalani proses acara demi acara dari menyalami tamu sampai selesai. Entah saya dapat nyali tambahan dari mana saat itu. Kalau saya ingat-ingat, saya itu seperti tidak takut disuruh mengerjakan hal baru.
Menjadi MC sukses. Lalu Lembaga bahasa saya berulang tahun juga. Tanpa memberi pilihan, Direktur saya memberi tugas sebagai juri lomba pidato bahasa Inggris, sekaligus MC untuk malam resepsinya. Walah. Nggak tanggung-tanggung, acara dipusatkan di Jakarta. Jadi pertama kali menginjakkan kaki di Gelora Bung Karno (disebut Stadion Istora Senayan) ya saat saya menjalani tugas MC itu.