[caption caption="Usai Gerimis, Sore Merayap | Photo by Indria Salim"][/caption]
*[Meskipun berlabelkan puisi, tulisan ini adalah sebuah cerpen, tetapi kemungkinan ada eror dalam sistem penempatannya di pihak K.]*
“Selamat sore, Non. Mau ke mana?”
“Arah Blok M saja, Pak. Ambil rute Pacific Place, ya?”
“Siap.”
Lega rasanya menghamburkan tubuh penatku ke dalam taksi, setelah berdiri hampir setengah jam lamanya di trotoar yang hiruk pikuk tadi. Menunggu taksi adalah keniscayaan yang kuhadapi hampir setiap hari. Kalau beruntung, aku sebelumnya bisa menelpon armada taksi, atau bahkan langsung SMS ke salah satu supir taksi langganan.
Kubuka laptop yang beratnya lumayan membuat lenganku pegal bila menjinjingnya lebih dari 20 menit. Hari Jumat sore, gerimis pula! Cari taksi sulit. Mau pakai model pesan online, aku belum punya gawai untuk memasang aplikasi pemesanan taksi online yang sedang ngetren. Padahal hari ini aku harus sampai di rumah sebelum pukul 7 malam. Ada yang berulang tahun di rumah, dan aku akan memberikan kejutan buatnya. Hanya ada dia, dan hanya untuk dia maka sekarang kubergegas pulang.
“Pak, kalau jalur kiri agak longgar, pindah saja ya. Pokoknya mana yang kosong, masuk saja. Itu jalur cepat malah mandeg,” sesekali kuingatkan Pak Supir.
Kulihat matanya merah, seperti menahan kantuk. Mungkin juga dia lelah. Mendadak kumerasa seakan duduk di kursinya, kursi yang sama setiap harinya dan kursi tempatnya dia harus berkonsentrasi mengendalikan setir mobilnya. Oh bukan mobilnya, ini mobil perusahaan tempatnya bekerja.
“Pulang kerja, Non?” Pak Supir melihatku dari kaca spion.
Aku kurang nyaman dilihatin dari kaca spion. Kulihat sepasang mata menatapku tajam. ‘Ah, mata merah dan lelah, kenapa aku harus takut?’ batinku geli sendiri.