Hari ini, 22 Desember 2015, Ibunda menelpon. Begitu telpon saya angkat, kalimat pertama yang diucapkannya, “Oh senangnya mendengar suaramu. Aku kangen banget.”
Lalu Ibu memastikan kalau Natal ini saya akan merayakan bersama keluarga besar, di rumah masa kecil saya yang terasa semakin kecil. Meski begitu, rumah itu cukup membuat sibuk Ibu, karena ada taman kecil dengan tanaman yang menjadi tempatnya mengekspresikan kecintaannya pada tanaman dan pot bunga.
[caption caption="Ibunda berpose dengan sahabatnya -- inspirasi dan pahlawanku selalu |Dok. Indria Salim "][/caption]
Ibu punya selera artistik yang istimewa bagi saya. Dari musik sampai film, dari busana sampai buku. Ibu adalah pensiunan Kepala Sekolah di SD negeri di kota kelahiran saya, Solo. Sebagai wong Solo asli, Ibu pandai nembang, menulis dan mengarang berbahasa Jawa Kuno (Kawi), menulis huruf Jawa Ha Na Ca Ra Ka, dan menabuh gamelan --- dalam hal ini khususnya centhe dan bonang.
Sebagai seorang guru, dulu Ibu sering harus berkreasi untuk membuat murid-muridnya senang dan tertarik mengikuti pelajaran yang diajarkannya di kelas. Sesudah membereskan pekerjaan rumah sepulang mengajar, Ibu menyiapkan alat peraga untuk mengajar ilmu pengetahuan alam, misalnya.
Selain mengajar, mengurus pekerjaan rumah tangga, Ibu masih sempat memberikan les bagi muridnya yang sangat lambat memahami pelajaran sekolah dibanding dengan rata-rata murid di kelas pada umumnya. Les khusus ini sama sekali bukan untuk membuat seorang murid mendapatkan nilai bagus, apalagi mendapatkan ranking 3 besar di kelas --- sama sekali bukan. Ibu hanya tidak tega menolak permintaan orang tua murid yang sangat berharap anaknya yang maaf, agak lambat paham – bisa sedikit mengejar ketinggalannya di kelas.
Karenanya, memberi tambahan les itu Ibu lakukan dengan sepenuh hati, demi membantu anak agar tidak minder atau stress. Kuingat waktu itu murid lesnya hanya satu atau dua anak saja.
Ibu dan Ayah memang saling melengkapi dalam mendidik kami anak-anaknya. Bila Ibu suka membacakan kami cerita-cerita dari buku yang dibacanya, atau dongeng lucu atau semacam legenda lokal – maka Ayah mengajari kami hal lainnya termasuk bermain catur.
Ibu suka bernyanyi, dan bermusik juga. Ibu jago sekali main kulintang, padahal belajarnya belum lama dan itu bersama-sama dengan ibu-ibu yang berkegiatan di Kantor Kelurahan. Ibu selalu menjadi sasaran penunjukan teman-temannya. Ditunjuk jadi vokal, jadi dirigen paduan suara, memegang bagian melodi (bila itu kulintang), dan sering juga ditunjuk sebagai ketua panitia ini itu.
Kalau Ibu keberatan atau menolak, orang-orang pada mendesaknya dengan rayuan, “Jadi ketua itu enak. Tinggal tunjuk kami-kami ini, pencet tombol dan kami akan bekerja mendukung Ibu Ketua. Sudahlah, terima saja.”