Dewasa ini sedang marak isu menormalisasikan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia. Bahkan beberapa pekan lalu muncul tranding hastag di media sosial yaitu seorang youtuber dengan jumlah subscribers yang cukup besar mengundang pasangan gay di dalam podcastnya.
Hal ini tentu menjadi polemik dalam masyarakat karena dianggap dapat menggiring asumsi dan memunculkan paradigma akan normalisasi LGBT. Lantas apakah hal tersebut bertentangan dengan HAM dan bagaimana hukum di Indonesia mengaturnya? Apakah adanya LGBT dapat mempengaruhi tercapainya tujuan bangsa kita?
Berdasarkan survey CIA pada 2015 silam yang dilansir dari topikmalaysia.com menyatakan bahwa populasi LGBT di Indonesia berada pada urutan ke-5 setelah China, India, Eropa dan Amerika. Tak hanya itu, survey independen pun menyatakan bahwa 3% atau 7,5 juta dari 250 juta penduduk Indonesia merupakan LGBT.
Pilar ke-16 SDGs terkait tujuan pembangunan berkelanjutan Negara Indonesia ialah untuk menciptakan perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. Tujuan dalam pilar ini demi menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.
Dalam mewujudkan tujuan tersebut tentu diperlukan adanya produk hukum berupa peraturan. Relevansi antara HAM dan hukum nasional dengan LGBT sendiri dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam UUD NRI 1945 terdapat beberapa pengaturan tentang HAM.
Dijelaskan dalam Pasal 28I ayat (1) bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Lebih lanjut dijelaskan Pasal 28J ayat (1) bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Apakah dengan tidak menormalisasi LGBT dapat dianggap pelanggaran HAM dan diskriminasi? Maka merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pasal 70 pengaturan ini juga menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk atas pembatasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang demi menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
Dari sudut pandang HAM sendiri, HAM pada umumnya berprinsip universality. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama, di mana pun mereka tinggal, jenis kelamin, ras, agama, latar belakang budaya, dan etnis mereka.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman muncul pemikiran apakah prinsip universal itu mengartikan HAM tidak ada batasnya? Beberapa negara khususnya negara-negara Timur menganut prinsip partikular HAM (cultur relative), nilai hak asasi manusia dapat timbul dari nilai luhur suatu bangsa, artinya hal-hal yang bertentangan dengan budaya dan kebiasaan masyarakatnya dapat ditolak.