Lihat ke Halaman Asli

Indria

Tukang ketik

LGBT dan Ancaman Perlindungan Anak

Diperbarui: 4 Februari 2016   09:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     [caption caption="pelangi, lambang LGBT"][/caption]Saya masih ingat ketika TH, ibu AL korban pelecehan seksual di satu sekolah internasional di bilangan Jakarta Selatan J*S, menangis tersedu-sedu menceritakan kisahnya. Anak laki-laki kesayangannya, yang masih duduk di TK, harus mengalami kejadian yang mengenaskan. Ibu mana yang tak terguncang ketika tahu anaknya disodomi oleh orang yang seharusnya melindungi yakni guru dan petugas kebersihan di sekolah itu justru merusak masa depan anak itu.

      Meskipun para pelaku yakni petugas kebersihan divonis delapan tahun dan dua oknum guru asing Neil Bantlemen dan Ferdinant Tjong vonis 10 tahun penjara denda Rp 100 juta, subsider 6 bulan, tak membuat trauma AL hilang. Sampai saat ini pun, AL yang telah pindah ke salah satu negara di Eropa tetap menjalani terapi. Hepatitis kulit yang diderita akibat tindakan bejad para pelaku juga tidak akan hilang seumur hidupnya.

     "Psikolognya bilang, kejadian ini tak akan hilang seumur hidup AL. Tapi paling tidak, terapi ini mencegah AL melakukan perbuatan serupa ketika dewasa," terngiang ucapan TH ketika akan berangkat. Itu menjadi pertemuan terakhir saya dan TH.

    Wajar kiranya AL trauma, para pelaku bekerja sama. Para petugas kebersihan mencegat anak-anak TK yang masuk ke toilet. Awalnya seorang pelaku Afrisca, marah karena pipis AL belepotan. Kemudian datang pelaku lain, mencegat agar anak tersebut masuk ke dalam toilet. Sebelum diubah oleh pihak sekolah, toilet di sekolah itu tertutup. Pintu toilet tertutup dari atas sampai bawah. Kemudian, pelaku memanggil pelaku yang merupakan oknum guru untuk datang ke toilet dan terjadilah perbuatan bejad itu.

    "Sebelum disodomi, dimasukkan pil  ke dalam (maaf) dubur. Anak saya menyebutnya magic pill dan disodomi. Setelah selesai disodomi, kemudian disuntik."

    Tak hanya AL, hal serupa dialami oleh teman sekelasnya. Rata-rata anak-anak yang sekolah di situ merupakan anak ekspatriat. Banyak kejadian serupa, tapi para ekspatriat enggan berkasus dan memilih mendiamkannya. Beda dengan TH, dulunya ia atlet wushu di Jawa Timur dan mempunyai kakak seorang wartawan. Kakaknya yang mendorong agar kasus itu dibongkar.

    Pasca menguak kasus itu, berbagai ancaman diterima TH. Mulai dari ancaman pembunuhan, rumahnya disadap, SMS ancaman, hingga diikuti oleh lelaki berbadan tegap. Hingga akhirnya, ia meminta perlindungan dari LPSK. Tapi lagi-lagi, tetap diteror.T Bahkan pihak sekolah melakukan pembunuhan karakter dengan menyebut AL anak hasil kumpul kebo, hepatitis kulit diturunkan dari ibunya, hingga ibunya disebut sebagai perempuan nakal.

    Saya kenal baik dengan kakak korban. Mereka berasal dari keluarga terhormat, anak pastur di Surabaya. AL sendiri lahir di Singapura. Tidak mungkin Singapura mengizinkan perempuan berpenyakitan melahirkan di negaranya. Waktu itu saya hanya bilang sabar saja.

   Kondisi itu juga dialami oleh ibu korban lainnya. Bahkan sekolah meminta perusahaan tempat ayah korban bekerja, memecatnya. Ayahnya bekerja di perusahaan konsultan asal AS.

Jaringan Internet

    Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan pil berwarna hitam yang dimasukkan ke dalam dubur itu adalah obat penahan rasa sakit dan suntikan berisi antibiotik.  Pada saat itu, Reza meminta agar polisi harus memeriksa jaringan internet di sekolah itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline