Seakan tidak berujung, Pandemi COVID-19 masih menjadi trending topik yang setiap hari dibicarakan oleh seluruh penjuru dunia. Semenjak adanya pandemi masuk di Indonesia, pemerintah langsung mengambil kebijakan guna menjaga kesehatan masyarakatnya. Institusi kesehatan dan pangan dinilai sebagai sektor utama yang cepat menanggapi gelombang penyebaran virus. Kebijakan di rumah saja dan bekerja dari rumah dinilai mengurangi potensial penyebaran virus.
Pasca terjadinya pandemi, sektor pangan Indonesia mengalami sebuah tantangan yang besar. Bagaimana tidak, semenjak digencarkannya aksi di rumah saja, masyarakat tidak diperbolehkan untuk beraktivitas di luar rumah. Dengan adanya pandemi, teknologi menguasai keseharian masyarakat, khususnya pada sektor pangan. Mereka yang hanya bisa di rumah, memanfaatkan adanya media sosial untuk bertransaksi guna memenuhi pangan.
Banyak sekali pertimbangan pemerintah untuk memutuskan penutupan total aktivitas masyarakat atau lock down, karena akan berimbas pada perekonomian negara. Sehingga untuk akses jual beli seperti rumah makan dan pertokoan dibeberapa tempat masih diizinkan untuk buka dengan peraturan yang ketat. Karena tidak diperbolehkannya interaksi langsung, pemerintah pun mengambil langkah untuk tetap mengizinkan jasa antar barang beroperasi, khususnya pada jasa pengantaran makanan. Adanya kejadian ini, mengakibatkan pengeluaran meningkat berkali lipat. Bahkan, terjadi fenomena dimana banyak sekali mereka kalangan atas memborong berbagai kebutuhan pangan, yang otomatis mengakibatkan harga melonjak karena ketersediaan bahan yang menipis. Hal ini berimbas pada ketersediaan pangan untuk masyarakat bawah. Adanya lonjakan harga juga terjadi karena adanya pandangan dimana bahan makanan tertentu dapat dijadikan obat alternatif untuk menjaga imunitas tubuh dari virus. Perekonomian juga semakin buruk dengan adanya kejadian PHK dan lumpuhnya pekerjaan di beberapa kalangan. Ekonomi yang rendah akan berpengaruh pada pemilihan pangan pada keluarga.
Lalu, bagaimana melewati lika-liku pandemi agar kesehatan dan kebutuhan pangan tetap stabil?
Adanya pandemi ternyata tidak mematahkan semangat pada segelintir masyarakat. Kreativitas semakin terasah dan inovasi semain merekah. Hal ini bisa dilihat melalui kegiatan saat dirumah dan bagaimana cara mereka mengelola lingkungan sekitar untuk sekedar melepas kebosanan atau menyelamatkan perekonomian keluarga. Contohnya adalah pemanfaatan pekarangan rumah menjadi kebun gizi, pemanfaatan bahan pangan sekitar, penanaman padi non sawah ataupun hidroponik, penanaman bahan pangan berumur pendek, dan pembudidayaan ternak atau bisa disebut dengan fenomena urban farming. Fenomena ini semakin meningkat seiring berjalannya waktu pandemi yang seakan tidak ada ujungnya.
Ketahanan pangan tidak bisa lepas dari aspek kesehatan dan perekonomian. Dimana ketahanan pangan yang kuat, akan berimbas pada pemilihan serta pengonsumsian bahan pangan pada masyarakat. Pengonsumsian yang tepat dan pemenuhan gizi akan menjaga kesehatan masyarakat. Kesadaran masyarakat untuk bergerak sendiri berperang dengan pandemi dalam bidang ketahanan pangan, seperti adanya kegiatan urban farming akan berdampak pada ketahanan ekonomi pula. Pengeluaran akan lebih terkontrol dan kualitas pangan yang diolah lebih terjamin. Jika masyarakat sadar akan hal itu, sedikit demi sedikit menyelamatkan bangsa untuk lepas dari pandemi ini, masyarakat tidak bergantung pada negara dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri untuk kesejahteraan sendiri pula. Dengan berbekal ketahanan dan kesehatan yang kuat, membawa masyarakat untuk menang dalam melawan pandemi khususnya beradaptasi dengan era new normal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H