Lihat ke Halaman Asli

Indri RatnaSari

meskipun aku gendut, kupastikan aku tetap muat di hatimu.

Mengapa Harus Boba dan Bukan Cendol Dawet yang Terkenal?

Diperbarui: 16 Januari 2020   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dawet

Judul tulisan kali ini terinspirasi dari pernyataan Gibran Rakabuming Raka. Diucapkan dengan santai namun menggelitik hati saya. Benar juga ya? Apakah rasanya yang begitu nikmat sampai mengalahkan minuman khas daerah kita? Buat saya yang punya selera lidah jawa, jelas memilih segelas dawet cendol atau es gempol misalnya. Nikmat, segar dan murah.

Dari hasil penelusuran di internet, diketahui boba berasal dari Taiwan. Sedangkan saudaranya yang berupa bubble atau pearl disinyalir berasal dari Amerika. Ah...entah dari mana asalnya pada intinya kedua benda tersebut berasal dari luar negeri yang menjadi tersohor karena generasi milenial yang rutin mengekspos di linimasa medsos masing-masing.

boba-5e200014097f3621457d35e2.jpg

Pertanyaan di otak saya semakin liar. Begitu besarkah pengaruh "merk dari luar negeri/impor/trend dunia" untuk setiap produk? Misalnya, mengapa kopi dengan logo wanita hijau lebih populer daripada kopi klotok atau kopi buatan lokal? Bukankah kopi kita sangat enak dan beragam? 

Atau misalnya tas buatan Italia lebih populer dari tas buatan Bandung? Toh sama-sama tas, fungsinya sama. Terlepas dari strategi pemasaran, saya rasa jawaban terbesarnya adalah: gengsi. Gengsi yang membuat manusia merasa hebat jika membeli barang dengan merk yang mahal. 

Mohon maaf jika saya mempertanyakan hal ini karena saya menganut prinsip ekonomi untuk hal-hal seperti ini (hehehe...). Jika jawabannya adalah makanan dan minuman asli Indonesia itu kurang gaul, kurang keren pengemasannya, maka pertanyaan lanjutannya adalah...jika ada yang mengangkat produk lokal dengan kemasan yang menarik, maukah Anda membelinya?

Cukup lama saya merenungkan hal ini sebelum menuangkan dalam tulisan. Jangan-jangan nanti nasib produk-produk dalam negeri seperti wayang kulit yang diakui bangsa lain karena kita tak pernah mengakuisisinya. 

Kita sibuk update status dengan makanan dan minuman bahkan kosmetik kekinian di linimasa medsos kita tapi lupa update status saat makan dan minum sesuatu yang tradisional. Identitas bangsa terkikis bukan hanya karena karena masalah yang terlihat gamblang tapi bisa dimulai dari pilihan produk yang Anda beli. 

Jika mutu bersaing, menurut saya, mengapa tidak memilih produk kita sendiri? Selain membantu sesama anak bangsa, juga menggambarkan identitas bangsa. Kalau bukan generasi muda yang menyuarakan jati diri bangsa semudah melalui menggunakan produk lokal, lalu siapa yang akan melakukannya? Sementara banyak anak muda berkoar-koar ngin menjadi agen perubahan, membuat Indonesia dikenal dunia.

Jangan keblinger dengan trend. Karena trend akan berubah. Hari ini boba, siapa tahu minggu depan sudah ada minuman model baru. Jika selalu mengejar trend tidak akan ada habisnya. 

Bukannya tidak boleh sama sekali, namun ada baiknya ketika Anda sedang menggunakan produk dalam negeri tidak kalah bangga dengan ketika menggunakan merk luar. Nongkrong di kafe UMKM sama bangganya dengan ketika nongkrong di kafe "kopilarang". Sehingga di masa depan kita bisa berkata, " Aku bangga menggunakan produk Indonesia"

Salam sruput cendol dawet. Pira? Limangatusan.....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline