Sejak dulu keberadaan guru telah diakui sebagai katalisator dan dinamisator kemajuan suatu bangsa. Peranan guru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sungguh besar dan sangat menentukan. Guru merupakan salah satu faktor yang memiliki peran strategis dalam menentukan keberhasilan pendidikan serta meletakkan dasar untuk mempersiapkan pengembangan potensi peserta didik untuk masa depan bangsa.
Sejak masa penjajahan, guru selalu menanamkan kesadaran akan harga diri sebagai bangsa dan menanamkan semangat nasionalisme kepada peserta didik dan masyarakat. Menanamkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air juga merupakan bagian dari karaker bangsa yang bangun oleh guru. Namun sungguh ironis jika minat generasi muda untuk menjadi guru sangatlah rendah.
Pernah pada suatu waktu saya melontarkan pertanyaan kepada siswa saya dikelas. Pertanyaanya adalah " Siapakah diantara kalian yang bercita-cita menjadi guru?" Namun apa jawabannya, dari 40 siswa tidak lebih dari 3 siswa saja yang mengacungkan tangannya, yang artinya hampir tidak ada siswa yang bercita-cita atau berminat menjadi guru.
Siswa yang bercita-cita menjadi guru pun bukan termasuk siswa yang tergolong bintang kelas, melainkan hanya siswa yang biasa-biasa saja. Lain halnya dengan profesi seperti dokter, arsitek, pengacara atau lainnya. Tentu jika ditanya dengan pertanyaan serupa akan berbeda jawabannya. Sudah dapat dipastikan akan lebih banyak siswa yang mengacungkan tangannya.
Kembali saya melontarkan pertanyaan kepada siswa saya, kali ini pertanyaanya "Mengapa kalian tidak ingin menjadi guru, bukankah guru adalah pekerjaan yang mulia?" sebagian besar mereka menjawab dengan singkat, " Karena guru gajinya kecil".
Tentu ini merupakan jawaban yang sangat sederhana namun memiliki makna yang luas. Dari jawaban itu ada yang membuat kita prihatin, mengapa sikap anak-anak itu telah berorientasi pada materi, bukan kepada minat, hati nurani atau panggilan jiwa. Agaknya siswa-siswa kita tanpa disadari telah mengidap sifat materialistik dan konsumerisme.
Dari dua pertanyaan tersebut tentu kita dapat sedikit memahami akar persoalan tentang benang kusut profesi guru sekaligus dunia pendidikan kita. Dua hal tersebut adalah kualitas dan kesejahteraan guru. Sudah bukan rahasia lagi, kualitas dan kompetensi guru Indonesia masih relatif rendah.
Setidaknya ilustrasi ini didukung dari hasil tes angket yang dilakukan oleh Balitbang Kemendikbud kepada 512.500 siswa peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2019. Hasilnya peserta didik yang tak mau menjadi guru sebanyak 89 persen dan sisanya 11 persen ingin menjadi guru. Penyebabnya adalah dimensi sosial ekonomi, siswa itu sangat memilih sebuah profesi yang menurut persepsinya memiliki status sosial ekonomi yang tinggi. Sementara gambaran status sosial ekonomi profesi guru di mata para siswa masih di bawah profesi lain seperti pengacara dan dokter.
Kita berharap kedua akar persoalan tersebut akan dapat dibenahi olek Kemdikbud khususnya melalui Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidkan. Dirjen ini memang dibentuk khusus untuk menangani guru dan tenaga kependidikan ini.
Dirjen ini memang belum lama dibentuk,tepatnya pada tahun 2015 melalui Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Secara umum Dirjen GTK mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan.
Dengan dilantiknya pejabat Dirjen GTK yang baru, yakni DR. Iwan Syahril, Ph.D. tentu merupakan harapan baru bagi para guru di seluruh nusantara. Terlebih Beliau adalah seorang ahli dalam kurikulum dan kebijakan Pendidikan. Jika kita membaca apa yang menjadi buah pikiran beliau tentang suatu strategi penangan pendidikan yang pernah ditulisnya dalam media sosial profesional Linkedln, maka kita patut menaruh harapan besar.