Lihat ke Halaman Asli

Pelajar Terbaik Jadi Wanita Penghibur

Diperbarui: 10 Februari 2016   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Berita koran Merdeka 14 Juni 1946 tentang pelajar Indonesia di Jepang. "][/caption]Kisah yang akan disajikan ini mungkin sangat sedikit orang yang tahu. Selama 70 tahun lebih Palang Merah Indonesia (PMI) menyimpan laporan dan dokumennya sebagai bagian dari menjaga martabat manusia yang terlibat di dalamnya.  Namun, sebagai catatan sejarah bangsa Indonesia, kali ini perlu disampaikan sebagai fakta sejarah, bahwa ada korban perang yang tidak boleh terlupakan.

Pada 1945, PMI mendapat laporan dari salah satu anggota Romusha bernama R. Moh. Mahmoed yang baru kembali dari Singapura. Laporannya adalah tentang nasib puluhan pemudi lulusan Sekolah Rakyat (SR), Menengah dan Kepandaian Putri yang diangkut tentara Jepang ke Singapura dengan tujuan melanjutkan sekolahnya ke Tokyo, Jepang. Namun selama setahun lebih, para orang tua dari para pemudi tersebut tidak mendapat kabar tentang kondisi dan keberadaan mereka.

PMI mengutus Nn. Hidajat melakukan kunjungan ke Singapura didampingi oleh Nn. Vickers, Kepala Penghubung Palang Merah Australia untuk menelusuri keberadaan para pemudi. Perlu diketahui, salah satu tugas PMI saat itu adalah mempertemukan keluarga yang terpisah akibat perang. Tugas tersebut dinamakan “Tracing and Mailing Service”. Di Singapura, PMI menghubungi berbagai instansi dan akhirnya berhasil mendapat informasi yaitu:

  1. Pada akhir 1944 tersiar desas-desus bahwa beberapa puluh pemudi (perempuan) Indonesia dipakai oleh opsir-opsir Jepang sebagai penghibur mereka di sekitar daerah Katong.
  2. Masyarakat Indonesia protes atas perbuatan yang buruk tersebut karena mereka mengetahui bahwa pemudi-pemudi ini adalah anak-anak sekolah yang berasal dari keluarga yang baik dan bermaksud untuk melanjutkan sekolah.
  3. Pada mulanya, para pemudi tersebut diperkenankan berjalan-jalan bebas di Singapura, akan tetapi setelah Jepang mengetahui bahwa mereka mengadakan hubungan dengan masyakarat Indonesia, mereka dikumpulkan dalam rumah besar, dekat Geylang Road (daerah Katong) dengan memutuskan hubungan dengan dunia luar.
  4. Rumah Sakit khusus didirikan untuk anak-anak penghibur itu, dokternya yang pertama adalah Tan Heng Han seorang Tionghoa, kemudian pada Februari 1945 diganti oleh dokter Jepang, Ogura.
  5. Untuk menghilangkan jejak, nama Indonesia dari para pemudi tersebut diganti dengan nama Jepang.
  6. Semua orang Indonesia yang ingin bertemu dengan mereka harus melaporkan dulu ke Kempetai.

Dua minggu sebelum Jepang menyerah, seorang penjaga berbangsa Melayu memberitahukan kepada salah seorang Indonesia, bahwa para pemudi kabarnya akan dikumpulkan dan akan di bawa ke Woodlaw, dekat Johor dan dari situ akan dipulangkan ke Indonesia. Namun ternyata, setelah Jepang menyerah, para pemudi ini tidak semua jadi dipulangkan ke Indonesia, walaupun semua mendapat kebebasan. Setelah bebas sebagian besar mereka mencari penghidupan di Singapura.

Mendapat laporan dari PMI, Ny. Maria Ulfah Santono, Menteri Sosial Kabinet Syahrir waktu itu memprotes keras kekejaman tersebut dan termuat di surat-surat kabar Malaya. Masyarakat Indonesia di Singapura berusaha mencari keterangan tentang para pemudi ini dengan hasil:

Di Pasirpanjang ada 15 pemudi dan sudah menikah, di Pajalebar ada 2 orang, Djohor Road ada 40 pemudi dan masih menjadi penghibur, di Espalanado ada 6-7 orang jadi penghibur, Changi Road ada 6-7 orang, di Katong Road ada 1-2 orang sudah menikah, di Pulau Biani ada 1-2 orang dengan status menikah, di Pulau Riouw (Sikandjang) ada 23 orang yang kemungkinan dari Johor, dan di Café ada 1 orang.

Dr. Gaus, seorang pemberi informasi, membawa Nn. Hidajat ke dr. Tang Heng Han yang hendak menunjukan rumah sakit dan rumah-rumah yang didiami oleh para pemudi ini. Dr. Han mempertemukan Nn. Hidajat dengan salah seorang pemudi yang tinggal di Go Chad Road. Pemudi ini bernama Fatimah, saat ditanya kondisinya oleh PMI, Fatimah menangis dan sedikit demi sedikit menceritakan apa yang dialaminya. Persis seperti yang diduga, Fatimah sebelumnya bercita-cita tinggi untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di Tokyo, Jepang, dan akan menyumbangkan kepandaiannya untuk berbakti kepada negaranya. Namun, apa yang dialaminya sungguh tidak beradab. Pada mulanya mereka diperlakukan baik, diberi uang saku dan perhatian, tetapi lambat laun sikap opsir-opsir Jepang tersebut berubah. Setelah sebulan barulah mereka tahu maksud Jepang sebenarnya, yaitu dijadikan wanita penghibur. Beberapa dari mereka yang berontak diperlakukan buruk seperti dipukul dan dipaksa untuk menurut.  Secara kejiwaan mereka sangat terpukul dan malu sehingga tak berani lagi pulang ke orang tuanya. Jika ada seorang Indonesia yang akan menemui mereka untuk memberikan pertolongan pun ditolak, karena mereka merasa malu untuk menemui orang sebangsanya. Bila mereka di jalan, mereka menggunakan kerudung penutup kepala. Sebagian dari mereka karena tuntutan penghidupan, mereka melanjutkan kehidupan mereka sebagai penghibur, walaupun ada yang meninggalkan pekerjaan tersebut dan menikah.

Fatimah yang berhasil ditemui oleh PMI, kemudian menitipkan sepotong pakaian dan sepucuk surat yang ditujukan untuk orang tuanya. Isi surat tersebut diantaranya adalah permohonan maaf atas kesalahan yang sebenarnya bukan yang dilakukannya. 

Setelah cukup mendapatkan informasi, Nn. Hidajat kembali ke Jakarta dan melaporkan hasil penemuannya kepada pemerintah dan kepada pemohon pencarian keluarga. (Indra Yogasara, Sedjarah Palang Merah Indonesia 1953)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline