Lihat ke Halaman Asli

Indra Wardhana

Managing Director

Pengkhianatan di Keraton Kasepuhan, Kesultanan Cirebon: Sebuah Analisis dari kaum Nasionalis terhadap Sejarah Pengkhianatan atau peristiwa Peteng.

Diperbarui: 1 Agustus 2024   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Pribadi : Indra Wardhana

Pengkhianatan di Keraton Kasepuhan, Kesultanan Cirebon: 

Analisis dari kaum Nasionalis terhadap Sejarah Pengkhianatan atau peristiwa Peteng.

Indra Wardhana SE, MSc HSEaud. (Kaum Nasionalis)

Pendahuluan

Kesultanan Cirebon adalah salah satu pusat kebudayaan dan penyebaran Islam di Jawa yang memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia. Kesultanan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), seorang tokoh besar dalam Wali Songo, pada abad ke-15. Selama berabad-abad, Kesultanan Cirebon menjadi pusat spiritual, budaya, dan politik yang signifikan di Jawa Barat. Namun, kesultanan ini juga mengalami masa-masa kelam, salah satunya adalah "Sejarah Peteng" (sejarah gelap) yang mencakup pengkhianatan dan intervensi kolonial. Dari sudut pandang seorang nasionalis, pengkhianatan ini bukan hanya masalah internal kesultanan, tetapi juga simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan upaya mempertahankan identitas nasional.

Latar Belakang Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon berdiri kokoh di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, yang menggabungkan kekuatan spiritual dan politik untuk membangun sebuah pusat kebudayaan Islam yang berpengaruh. Sebagai salah satu Wali Songo, Sunan Gunung Jati tidak hanya dikenal karena peranannya dalam menyebarkan Islam, tetapi juga karena kemampuannya dalam menyatukan berbagai suku dan kelompok di wilayah Cirebon. Kesultanan ini menjadi pusat pendidikan, budaya, dan agama, dengan Sunan Gunung Jati sebagai simbol kearifan dan keadilan.

Awal Mula "Sejarah Peteng"

"Sejarah Peteng" dimulai dengan pengangkatan Sultan Sepuh VI Ki Muda (Hasanudin) yang bersekutu dengan Belanda. Pengangkatan ini tidak mengikuti garis keturunan asli Sunan Gunung Jati dan menandai awal intervensi kolonial dalam urusan internal kesultanan. Belanda, dengan strategi divide et impera (pecah belah dan kuasai), menggunakan konflik internal untuk memperkuat cengkeraman mereka di wilayah Cirebon. Mereka mendukung Sultan Sepuh VI untuk mengendalikan kekuasaan lokal dan mengurangi ancaman terhadap dominasi kolonial mereka.

Pengkhianatan Sultan Sepuh VI Ki Muda

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline