POLITIK DINASTI, OLIGARKI DAN "THE JONGOS"
Oleh Indra Tranggono
Selama sembilan tahun, bangsa kita disihir populisme seorang penguasa. Publik pun jadi percaya dengan berbagai pemitosan atas penguasa itu, misalnya "ratu adil" yang akan membawa bangsa dan negara ini menuju zaman kalasuba (zaman kejayaan). Sementara itu, para akademisi, juru survey bahkan juga sebagian rohaniwan menganggap dia antitesis atas sejarah kepemimpinan kaum elite di negeri ini. Ia pun serta merta dirayakan sebagai wong cilik yang berhasil melakukan mobilitas vertikal, memegang tampuk kepemimpinan nasional.
Namun setelah meledak kasus nepotisme politik yang mendorong munculnya politik dinasti --melalui rekayasa konstitusional, di mana anak sang penguasa berhasil jadi "maha patih kerajaan"---semua citra kebaikan penguasa itu pun ambyar. Ternyata penguasa itu tak lebih dari tokoh yang terobsesi melanggengkan kekuasaan. Tentu dengan mengorbankan hukum dan demokrasi. Maka orang-orang yang dulu memujanya, berbalik menghujat.
Dalam kasus ini menjadi sangat relevan pesan yang berasal dari budaya Jawa bahwa "ojo gampang gumun lan ojo gampang kaget" (jangan gampang kagum dan jangan gampang terkejut di dalam melihat kenyataan yang seolah-olah dahsyat).
Percikan persoalan di atas, memicu lahirnya naskah "The Jongos" yang saya tulis dan akan dipentaskan Dapoer Seni Djogja, Sabtu 10 Agustus 2024 pukul 19.30 di Auditorium ISI Yogyakarta, Sewon Bantul DIY. Bertindak sebagai sutradara adalah seniman dan aktivis demokrasi Isti Nugroho, yang pada masa Orde Baru dihukum delapan tahun karena tuduhan subversif. Adapun sebagai penata musik Toto Rahardjo dan Azied Dewa, penata cahaya Wardono (eks Bengkel Teater Rendra), penata rias Gita Gilang, penata artistik Vincensius Dwimawan dan kontributor ide Simon Hate. Para aktor yang mendukung: Joko Kamto, Novi Budianto dan Eko Winardi.
Pementasan ini dikemas ringkas, baik dalam jumlah pemain, kru, manajemen maupun biaya. Dengan prinsip teater mikro, pementasan ini tetap berupaya menghadirkan nilai-nilai substansial melalui ungkapan-ungkapan estetik-teaterikal.
Dominasi Oligarki
"The Jongos" muncul karena didorong kegelisahan kreatif yang terkait dengan semakin dominannya oligarki (kelompok elite politik., ekonomi dan militer) dalam praksis kenegaraan. Munculnya nepotisme dan politik dinasti tidak lepas dari peran oligarki. Oligarki tidak ingin kekuasaan yang beroperasi datang dari kelompok lain yang tidak menguntungkan dirinya. Karena itu mereka perlu menyusun skenario dan menempuh langkah-langkah politik untuk mengendalikan tampuk kekuasaan. Yang dipilih tak lain adalah "orang-orang sendiri" atau yang satu kubu.
Di berbagai negara, sulit menemukan fakta bahwa oligarki mampu menyejahterakan rakyat, karena umumnya praktik-praktik oligarkis sangat jauh dari nilai-nilai ideal, baik di dalam konteks demokrasi, politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan. Yang diburu oligarki hanyalah keuntungan, bukan pemerataan keadilan. Untuk mencapai tujuan dan kepentingannya itu mereka tega melakukan apa saja, termasuk mengakali hukum/konstitusi dan mereduksi demokrasi jadi sekadar prosedur.
Konstitusi yang diperalat oligarki itu terbayang di dalam kisah "The Jongos". Yakni pada tokoh Tuan Hakim yang diperalat kekuasaan untuk memenangkan perkara di dalam perebutan tampuk kekuasaan. Hakim itu akhirnya menyadari dirinya tak lebih dari jongos oligarki.