Lihat ke Halaman Asli

Keberanian Seorang Pemimpin

Diperbarui: 24 Agustus 2015   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

“Courage is the main quality of leadership, in my opinion, no matter where it is exercised. Usually it implies some risk – especially in new undertakings.” (Walt Disney)

Walt Disney adalah seorang pemimpin besar dalam dunia bisnis, dan dia bukanlah satu-satunya orang yang menyatakan betapa pentingnya keberanian dalam hal kepemimpinan.

Sepanjang sejarah, orang-orang mengharapkan agar para pemimpin mereka adalah pribadi-pribadi yang berani. Para raja diharapkan memimpin pasukan mereka  di tengah medan pertempuran, bukan duduk dalam sebuah bunker sambil mengeluarkan perintah-perintah kepada pasukan mereka. Jika ingin dikatakan bahwa dirinya seorang pemimpin sejati, maka raja itu seharusnya ikut ambil bagian dalam risiko yang sama sebagaimana yang dihadapi dan dialami para serdadunya. Pada saat yang sama juga sang raja harus menjadi teladan bagaimana bersikap dan berperilaku dalam situasi pertempuran.

Jadi seseorang tidak dapat menjadi seorang pemimpin yang baik tanpa memiliki keberanian. Baik pemimpin yang baru maupun yang sudah kawakan tetap membutuhkan keberanian untuk menjalankan fungsi mereka.

Sebuah contoh dalam praktek

Ada cerita tentang seorang “pemimpin”. Walaupun “katanya” dia memiliki kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan yang baik dan tepat waktu, unggul dalam membuat rencana-rencana untuk mencapai misi organisasi-nya, dan merumuskan tatanan/keteraturan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan, dia masih berada jauh dari pencapaian tujuan-tujuan kerjanya jika dia selalu “ketar-ketir” untuk mengambil tindakan; …tidak memiliki keberanian untuk bertindak.

Seorang pemikir yang brilian dengan hati penakut hanya mengundang kekacauan melalui ketiadaan tindakannya (inaction) atau keragu-raguannya untuk bertindak. Seorang pemimpin harus memiliki keberanian untuk melakukan apa yang harus dilakukannya, betapa besar pun “biaya”-nya, betapa pun sulitnya, dan betapa besar pun pengorbanan-pengorbanan yang harus dibuatnya. Dalam lokakarya kepemimpinan dan manajemen, tidak jarang kita mendengar sang pembicara/instruktur mengatakan, “Lakukan sesuatu, bahkan kalau itu pun salah; jangan tinggal diam di sana. Jika anda tidak melakukan apa-apa, maka tidak ada sesuatu pun masalah yang diselesaikan. Sebaliknya jika anda melakukan sesuatu, walaupun itu salah, anda mempunyai kesempatan untuk mengoreksi kesalahan anda itu sehingga pada akhirnya segala sesuatu menjadi benar.

Walaupun katakanlah sang “pemimpin” itu mempunyai visi tentang apa yang harus dilakukan di masa depan dan ia juga memiliki hikmat-kebijaksanaan Sulaiman (Salomo) guna menolong dirinya dalam mengambil keputusan-keputusan, namun dia tidak pernah akan mempengaruhi hasil dari tindakannya jika dia tidak memiliki keberanian untuk bertindak pada saat tindakan itu dibutuhkan. Bukankah cerita di atas sangat familiar bagi kita selama beberapa tahun belakangan ini? Orang tidak dapat membenarkan adanya ketiadaan keberanian seorang “pemimpin” dengan dalih bahwa “pemimpin” termaksud adalah seorang pribadi yang sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan, dia tidak mau sembarangan bertindak, dan tentunya hal itu membutuhkan waktu.

Para pemimpin baru

Seorang pemimpin baru, teristimewa yang relatif muda usia membutuhkan keberanian untuk bertumbuh dan belajar. Apabila dia tidak pernah gagal, maka sebenarnya dia tidak pernah mencoba dengan cukup keras. Hal ini benar dalam bidang olah-raga di mana para calon-juara ditempa. Yang berani untuk mencoba, mendorong dirinya, mengalami kegagalan dan pada akhirnya berhasil menjadi juara; namun ada juga yang tidak pernah berani melangkah ke luar dari zona nyaman (comfort zone) mereka.

Sebagai pemimpin – baik di dunia bisnis maupun dunia politik – kita harus belajar untuk berbicara di depan publik, menangani konflik, pemecahan krisis, membela kepentingan kita, berurusan dengan berbagai pihak – internal maupun yang  di luar organisasi – teristimewa yang sulit-sulit. Apabila kita tidak melakukan hal-hal seperti ini, maka kita tidak pernah akan memimpin dalam arti yang sesungguhnya.

Para pemimpin yang sudah mapan

Sebagai  menlu (Secretary of State) Amerika Serikat pada masa perang Vietnam, Henry Kissinger mendefinisikan kepemimpinan sebagai “Taking people where they would not have got by themselves” (Membawa orang-orang ke tempat di mana mereka tidak akan sampai kalau berjalan sendiri). Banyak “pemimpin” yang gagal dalam hal ini; Mereka cukup puas dengan mengadministrasikan suatu legacy yang mereka warisi dari para pendahulu mereka. Membawa orang-orang ke tempat di mana mereka tidak akan sampai kalau berjalan sendiri seperti disebut di atas sungguh membutuhkan keberanian moral, karena ada risiko riil mengalami kegagalan. Para pengikutnya hampir pasti akan meragukan kemampuan sang “pemimpin” dan siap untuk menuduhnya sebagai “ biang kerok” bilamana terjadi kegagalan. Kegagalan senantiasa merupakan peristiwa kesendirian. Sampai para “pemimpin” mampu untuk mengambil keputusan-keputusan yang sulit dan seringkali tidak populer, maka mereka boleh dikatakan belum memimpin. Jadi, kepemimpinan selalu membutuhkan keberanian.

Belajar berani

Keberanian kelihatannya merupakan salah satu kualitas – seperti kharisma, charm dan keindahan – yang anda miliki atau tidak miliki. Untung saja pendapat itu tidak benar. Keberanian dapat dipelajari dengan cara yang sama seperti sebagian besar keterampilan dan kualitas pribadi seorang pemimpin yang dapat dipelajari. Anda tidak perlu dilahirkan sebagai seorang pemimpin, namun anda harus bekerja keras mempelajarinya. Apakah para anggota pemadam kebakaran yang harus menghadapi bahaya riil ketika bertugas menjadi pemberani dengan begitu saja? Tidak! Mereka belajar menjadi berani secara incremental, tahap demi tahap. Mereka mulai dengan tugas-tugas yang sederhana dan secara perlahan-lahan bergerak untuk melakukan tugas-tugas yang semakin memberikan tantangan. Kemudian, mereka terus melakukan tugas-tugas yang paling memberi tantangan, lagi dan lagi. Yang tidak familiar pada akhirnya menjadi familiar dan yang luarbiasa menjadi suatu rutinitas. Dengan praktek, keberanian pun menjadi begitu rutin sehingga mereka akhirnya melihat semua itu sebagai sekadar bagian dari pekerjaan mereka.

Demikianlah halnya dengan kepemimpinan dan keberanian. Jika anda mencoba untuk menjadi terlalu berani, maka anda akan gagal. Jika anda belum pernah berbicara di depan publik, maka janganlah mencoba untuk berbicara di depan seluruh pegawai perusahaan atau audiensi yang besar jumlahnya. Biasakanlah berbicara dalam kelompok-kelompok kerja yang tidak besar, kemudian barulah mencoba untuk berbicara dalam kelompok-kelompok yang lebih besar. Pada akhirnya, berbicara di depan seluruh pegawai perusahaan terasa sebagai sesuatu pekerjaan yang sederhana dan rutin. Jadi, keberanian dapat dipelajari manakala anda membuat hal yang luarbiasa menjadi hal yang rutin.

Cakupan keberanian yang lebih luas

Keberanian yang disinggung di atas menyangkut beberapa hal saja, namun yang perlu dimiliki seorang pemimpin sejati mencakup banyak hal lagi, a.l. (1) keberanian untuk melihat dan berbicara perihal kebenaran; (2) keberanian untuk menciptakan dan menegaskan suatu visi dari suatu keadaan yang dihasrati; (3) keberanian untuk bertekun pada jalan yang sedang diambil walaupun menghadapi resistensi yang kuat dan alot dlsb. (Arthur Shriberg et al., PRACTICING LEADERSHIP – PRINCIPLES AND APPLICATIONS, New York: John Wiley & Sons, Inc., 1997, hal. 198).

James M. Kouzes & Barry Z. Posner, dalam buku mereka “CREDIBILITY – HOW LEADERS GAIN AND LOSE IT, WHY PEOPLE DEMAND IT” , San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1993 dan “THE LEADERSHIP CHALLENGE” (3rd EDITION),  San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 2002, menyinggung juga soal keberanian ini.

Dalam kedua buku ini mereka memasukkan keberanian/berani sebagai salah satu dari 20 karakteristik para pemimpin yang dikagumi (hal. 14 dan 25), dan dalam kedua buku ini mereka juga  menyatakan bahwa “tanpa keberanian tidak ada pengharapan” [Without courage, there can be no hope] (hal 226 dan 398). Untuk hal ini baiklah kita bahas dalam lain kesempatan.

Catatan penutup

Kepemimpinan merupakan sesuatu yang tidak biasa dan langka. Mengapa? Kesalahannya terletak pada kita sendiri. Kita seringkali mengikuti asumsi-asumsi yang menyesatkan tentang perilaku manusia. Kita tidak mempunyai kepercayaan yang memadai akan kemampuan orang-orang lain, atau kita memandang motivasi manusia hanya dalam term-term pengejaran kuasa guna kepentingan-diri sendiri, uang dan keamanan. Kita tidak berhasil melihat  bahwa orang-orang juga termotivasi oleh kebutuhan untuk menciptakan dan suatu hasrat untuk melayani tujuan-tujuan yang bermakna.

Seringkali persoalan utamanya adalah ketiadaan keberanian. Yang dimaksudkan dengan keberanian di sini bukanlah tindakan-tindakan heroik (apalagi sekadar bergaya heroik sebagai seorang ksatria sambil menunggang kuda misalnya), melainkan determinasi dan kejujuran yang dipraktekkan sehari-hari dalam situasi-situasi berskala relatif kecil dan dilema-dilema hidup berorganisasi; keberanian untuk melakukan dan mengatakan apa yang dipercayai dan diyakini oleh sang pemimpin sebagai sesuatu yang benar, bukannya suatu yang mengenakkan saja, familiar atau populer; keberanian bertindak atas dasar visi organisasi.

Semoga anda semua, para orang muda Indonesia yang mempunyai aspirasi untuk menjadi para pemimpin Indonesia yang baik kelak, dapat menarik pelajaran dari tulisan ini.

Jakarta, 17 Oktober 2014 

Frans Indrapradja

http://developingsuperleaders.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline