Jam weker berdering tepat pukul 04.00 WIB pagi. Si hasan buru-buru bangun, dengan cekatan dia membereskan tempat tidurnya yang sudah reyot. setelah mematikan beberapa lampu dia sempat melirik ibunya yang masih tertidur pulas, terbersit rasa iba karena hanya ibunya yang dimilikinya sekarang, sedangkan bapaknya sudah meninggal 4 tahun lalu.
Setelah membereskan rumah dan mempersiapkan sarapan untuk ia dan ibunya, ia ngeloyor ke kamar mandi, dia gak lupa nyambar handuk yag ada disebelah pintu kamar mandi yang sudah lapuk. ia tahu jadwal siaran pagi ini. Selama di kamar mandi si hasan berharap pagi ini dia bisa siaran sebagus mungkin. Setelah shalat subuh, dia berpakaian alakadarnya dengan baju yang di banggakannya, uniform radio.
Dengan memakai sepeda butut peninggalan bapaknya, sambil menghirup udara pagi dia mengayuh sepedanya melewati jalanan kota Cirebon yang sudah mulai ramai, dia menikmati suasana pagi itu, maklum waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 05.40 WIB.
Setelah memarkirkan sepedanya, dia buru-buru masuk ke studio, "... selamat pagi hasan..." tiba-tiba pa idris nyapa dari dalam, pa idris adalah cleaning service radio yang baru bekerja beberapa bulan, setelah berbincang-bincang sebentar dengan pa idris, dia mempersiapkan script untuk tema siaran pagi itu. Tepat pukul 06.05 WIB si hasan sudah duduk di depan mixer dan komputer.
Dengan lantangnya dia mulai membuka suasana, "... SELAMAT PAGI INDONESIA..."
Begitulah kerjaan si hasan setiap hari. Si hasan menggeluti dunia broadcasting sebagai seorang penyiar. Dia merasakan ada kepuasan lain dalam batinnya dan merasa senang sekali bisa menghibur pendengar dengan ocehan-ocehannya.
Tapi dalam hati kecilnya si hasan tetap meratap, penghasilan sebagai penyiar radio mana cukup buat biaya hidup dia sama ibu nya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan. Dengan sisa waktu yang ada setelah jam siaran selesai, si hasan berusaha dengan menambah penghasilannya sebagai seorang Portir di sebuah stasiun besar di kota Cirebon.
Cucuran keringatnya sebagai kuli panggul stasiun, tidak dia hiraukan. Bayang-bayang wajah ibunya membuat dia bersemangat. Dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk mendapatkan upah yang lumayan untuk dibawa pulang ke rumahnya, untuk beli beras 1-2 kg untuk makan dia sama ibunya selama beberapa hari.
Tapi alangkah kagetnya dia setelah sampai di depan rumahnya, banyak tetangga sedang berkerumun, astagfirulloh...apa yang terjadi? apa yang terjadi dengan ibuku? kenapa orang-orang berkerumun di rumahku? Pa Dayat sebagai ketua RT dimana ia tinggal dengan rona wajah yang menyimpan sesuatu cepat-cepat menghampiri si hasan dan membawanya ke tempat agak jauh dari rumahnya, sebelum ia bertanya sesuatu, pa RT sudah duluan nyapa "...san, km darimana..? ibu mu mendapat musibah..." tanpa bertanya lagi, si hasan sudah tahu, penyakit jantung yang selama ini diderita ibunya sudah merenggut nyawanya.
Dengan langkah gontai dia masuk ke rumahnya, dengan bersimpuh disamping jenazah ibunya, ia menangis. semua pelayat yang hadir jadi terharu malahan di antaranya ada yang nangis pula. Maklum si hasan adalah anak satu-satunya dari keluarga bu Tati dan pa Dirja yang sudah meninggal 4 tahun lalu karena kecelakaan.
Kini ia hidup sendirian. kini ia hidup sebatang kara. kini ia merasa kesepian. Si hasan jadi sering melamun. Gairah hidupnya telah meredup. Semangat yang dulu ada sekarang hampir gak ada sama sekali.