Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisah Cinta Dari Nagoya 2.0

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

by Indra Malela

Winter  Evening Lecture from Dr. Maurice Bucaille Liburan semester. Musim dingin akan segera berakhir. Ada kuliah terbuka dari Dr. Maurice Bucaille  di akhir pekan di dekat stasiun Kota Nagoya. Sebenarnya kuliah terbuka itu diadakan dadakan. Ketika Dr. Maurice Bucaille sedang liburan ke Jepang dengan istrinya, beliau di daulat untuk memberikan sedikit paparan di depan masyarakat muslim yang ada di Jepang tentang penelitiannya. Dalam sepekan liburan itu beliau memberikan kuliahnya di tiga kota. Tokyo, Kyoto dan Nagoya. Pemandangan di Stasiun Nagoya Kesempatan mendengarkan kuliah terbuka ini adalah kesempatan langka.  Saya hadir sekalian untuk bertemu kawan-kawan dan juga Brother Hisyam. Sudah hampir 3 bulan  saya juga tidak bertemu dengan mereka karena kesibukan pekerjaan dan ujian semesteran. Kuliah terbuka itu diadakan di lantai 4 di sebuah gedung di dekat stasiun. Kuliah rencana dibuka pukul 7 malam. Saya datang jam 7 kurang. Brother Hisyam yang sedikit berjanggut langsung menyambut dan menjabat  tangan saya. “Thank to you, Brother, I am a happy man now.” Dia buka bicara  dengan wajah yang riang gembira. “Hi, Congratulation! So you’ve married. This is a good news for me too, My Brother.  I am very happy. Good Luck to you. And may Allah blessed your marriage. I’m sure you’re wife will be proud of you. Give my best regard to your wife.” Jawab saya dalam bahasa Inggeris seadanya. Brother Hisyam memelukku. Menepuk-menepuk punggungku. Kami hangat seperti saudara. Sepertinya ia bahagia sekali. Saya senang melihatnya begitu riang. Turut bersyukur akhirnya dia bisa menikah. Saya tak bisa bicara dan bercengkrama lebih lama, karena kuliah dari Dr. Maurrice akan segera di mulai. Dr. Maurrice memaparkan kuliahnya. Dan banyak sekali mengupas tentang mumi yang terkubur di dalam perut piramid yang ada di Mesir. Saya tidak begitu mengerti. Pernah saya baca buku Dr. Maurice. Bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mengenai tafsir Al Quran yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Di situ dipaparkan tentang penciptaan jagat raya ini yang belum selesai. Di ujung jagad raya ini  yang jaraknya kira-kira 15 milyar tahun cahaya masih terjadi proses penciptaan baru. Masih terbentuk ruang-ruang baru dari yang tadinya ‘tidak ada apa-apa”.  Di kuliah terbuka itu saya justeru banyak mendengar tentang mumi para Fir’aun, yang disembunyikan di piramid-piramid.  Piramid-piramid itu bangungan-bangunan tinggi menoreh langit  menjulang ke angkasa. Bukan istana tapi kuburan. Di kuburan itu mumi disimpan dan diawetkan. Supaya awet mayatpun sejak dulu di Mesir sudah dibungkus rapat-rapat, begitu pikiran pendek saya menyimpulkan. Ada tatapan wajah ke arah saya sejak dari tadi dari tempat duduk para wanita berburka, yang semua tubuhnya ditutup rapat-rapat. Entah siapa. Tapi membuat suasana jadi tambah tidak enak saja. Entah kenapa. Tapi saya tak mau begitu ambil pusing. Mendengar kuliah ini saja kepala saya sedikit pening. Karena banyak slidenya yang berisi  gambar-gambar mayat yang sudah bungkus rapat-rapat. Mumi-mumi para Fir’aun itu. Rasa kantuk datang karena bosan. Jam 9 kurang acara itu selesai. Saya bergegas pulang. Segera saya berjalan menuju lift. Tak lama pintu lift terbuka. Aku masuk dan membalikkan badan. Kulihat wanita yang berburka, yang berpakaian tertutup itu menganggukan kepala. Aku diam saja. Karena tidak tahu siapa dia, mengangguk pada siapa. Wanita itu  membuka cadar yang menutup mukanya. Lalu menganggukan kepala untuk yang kedua kalinya. Aku kaget. Dan sungguh tidak percaya! Terkejut bukan main. Mataku terbelakak. Wajahnya. Parasnya. Seperti raut muka yang pernah kukenal.  Wajah seorang wanita yang photonya ada di sebuah buku itu. Wajah yang amat mirip dengan artis Yuko Natori. “Ai…” gumanku lirih dalam hati. Tak lebih. Tak keluar suara sepatah kata juga. Tak bisa apa-apa lagi. Dia kini sudah istri  orang. Aku menunduk. Tak kuat menatap mukanya lebih lama. Lalu membungkuk. Melakukan ojigi. Memberikan salam penghormatan gaya Jepang. Dia melihatku nanar. Datar. Senyum lebar tapi  terasa  hambar. Pintu lift tertutup. Untuk pertama dan terakhir kali saya bisa bertatap muka langsung dengan Ai.   Bukan dalam mimpi. Seorang wanita berburka dengan wajah mirip artis Yuko Natori, yang kini barangkali ah, seorang Cleopatra saja. Lift turun pelan-perlahan. Darahku naik. Hati berdebar. Jantung  memompa darah segar secara tak sabar. Entah kenapa. Ada perasaan yang tak pernah kualami sebelumnya. Antara kecewa dan bahagia. Antara tawa dan air mata. Sedih yang tak terdefinisi. Duka tanpa kata-kata. Kata orang cinta berarti memberi. Cinta tak berarti harus memiliki. Kini saya alami konsekwensi dari dua makna cinta itu. Dan merasakan sendiri rasa getir yang bukan main. Sendirian. Di negeri orang. Terasa semakin asing saja aku berada di sini. Mataku  berkaca-kaca. Ada gerimis membasah di wajah. Sedikit saja. Aku berjalan pelan menuju stasiun kereta api Nagoya. Mengayunkan langkah untuk segera pulang ke rumah. Tapi langkah kaki seperti lunglai tak bernyawa. Gontai seperti langkah prajurit pulang kalah perang. Terngiang kutipan Dr. Maurice Bucaille dari bukunya dan bukan dari ceramahnya barusan. Langit masih meneruskan proses penciptaan. Jarak antar galaksi  makin menjauh. Dunia makin luas. Masih Big Bang.  Belum  Big Crunch. Begitu kata tafsir Al Quran dan dibenarkan menurut kajian ilmu pengetahuan. Stasiun Nagoya di malam hari. Gedung-gedung redup bermandikan cahaya iluminasi. Lampu jalan yang temaram.  Kutatap langit. Cahaya bintang yang buram. Rembulan mengabur ditelan awan. Seperti mau turun hujan. Dunia terasa justru menyempit. Tak seorang pun tahu Big Crunch sebenarnya sudah mulai. Di diriku ini. Semuanya terasa serba mengerut. Ruangan berkontraksi. Menjadi sepetak kamar dengan luas yang hanya 6 tatami itu saja.  Di kamar yang tak luas itupun saya merasa seakan makhluk yang kecil saja. Menciut menjadi liliput yang tak berdaya. Ternyata di usia 25 ini saja saya masih seperti anak kecil. Tidak bisa turut merasa bahagia melihatnya.  Ai sudah nikah dengan Brother Hisyam karibku itu. Bukankah ini pun terjadi karena saya memberikan jalan ke Brother Hisyam. Menunjukkan photonya. Memberi nomor telepon Ai. Sambil menyarankan kalau sudah kenalan di telepon, cepatlah menemui Ai ke Tokyo.  Benar kata Ai, aku terlalu muda untuknya. Terlalu muda dan tidak dewasa. Betapa aku sangat tidak suka ketidakdewasaanku ini.  Aku jadi muak dengan diri sendiri.  Benar-benar muak. Betul-betul benci. Benci terhadap  sikap sendiri dan ketidakberdayaan ini. Hanya ada sunyi di kamar itu. Seekor liliput beranjak masuk selimut. Senyap merayap dari tiap sudut. Hening terasa. Telepon tak berdering. Tak ada suara. Terngiang kembali suara sopan dan pelan yang pernah turut menghangatkan ruangan ini. Suara yang pernah bergema di sela-sela kamar ini. Memantul pada dinding-dindingnya. Suara canda membuat hari penuh tawa. Membuat hidup penuh gairah. Menggetarkan rasa. Bahagia yang pernah ada.   Menusuk-nusuk lubuk. Membolak-balik hati. Menerangkan pikiran. Menggores harap. Menoreh cita. Melukis asa. Menggapai mimpi-mimpi. Melambung tinggi aku ke terbang ke awang-awang. Tapi tiba-tiba aku jatuh melayang karena  diri ini memang tak bersayap. Tak berbaling-baling. Semuanya kini berpaling. Segalanya  hilang dibawa orang. Hanyut tertelan gerimis hujan. Terlarut dalam gelapnya malam.   Hanya ada dingin di kamar itu. Si bujang lapuk  sudah terkulai layu di kamarnya sendiri. Di luar gerimis akhir musim dingin pada ranting-ranting. Rintik hujan bercengkrama dengan dahan pepohonan. Membasahi bumi. Mengguyur tanah. Menyerap pada akar-akar tumbuhan di kedalaman. Menbangunkan biji-biji dan umbi-umbi yang masih bermimpi, tertidur pulas untuk segera bertunas.  Menyambut musim semi yang telah lama mereka nanti. Merekah berkah musim bunga yang segera tiba. Meretas asa pada mentari musim semi di esok pagi. Menghaturkan beribu terima kasih pada musim dingin penghabisan. Mengucap sayonara dan sampai jumpa. Bukankah berkah musim bunga bisa bersemi kembali pada mereka yang tegar menemani  musim dinginnya sampai akhir…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline