Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisah Cinta dari Nagoya 1.3

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara Pelan dan Sopan Penghantar Tidur Malam

by Indra Malela Apa katamu? Ceritaku ini cuma beringsut satu sikut satu sikut. Pelan sekali  jalan ceritanya seperti jalan siput. Jangan cemberut! Kan sudah kukatakan. Cobalah untuk bersabar. Jangan tergesa-gesa. Tak usah terburu-buru mau langsung di ujung cerita.  Kan kita sudah tahu ujungnya itu. Nikmati huruf demi huruf, kata demi kata. Ada apa di sana. Hayati kalimat-per-kalimat. Aku penulisnya pun benar-benar menghayati  goresan ini. Merasakan kenangan  yang telah menggores  sebuah cerita cinta  dalam hidupku ini. Ada endorphin yang mengalir kembali di otakku. Menjalar menjadi sebuah energi dan ekstasi. Energi untuk menepati janjiku meneruskan cerita ini, padamu kawan. Karena kalau merpati  saja yang takkan pernah ingkar janji. Dirikupun tentu tak mau kalah dengan ternak unggas itu. Mari ikuti! ========================================================= Dan lihatlah. Diriku sudah banyak berubah. Sedikitnya kini saya sudah menjadi seorang lelaki yang bernyali. Sudah mandiri. Tak perlu ada yang ngompor-ngompori lagi hanya untuk sekedar ngajak bicara wanita yang kusukai. Yang nantinya bisa kujadikan seorang istri. Saya  bisa  langsung nelepon. Berbicara cukup lama dengannya. Tidak tegang. Tetap tenang. Dan membuat dirinya dan diriku juga tentunya -- cukup senang. Saya menikmati proses ini. Reaksi kimiawi antar wanita dan seorang laki-laki.  Mungkin kemajuan ini hampir tak ada artinya, bagimu kawan. Tapi tidak  begitu bagiku. Aku merasakan kemajuan yang amat pesat di diriku.  Teramat pesat. Seorang bayi yang bisa berjalan adalah pemandangan biasa saja. Tapi hal sama buat kedua orang tuanya merupakan suatu anugerah yang luar biasa. Kalau kau sudah pernah punya anak, tentu kau sudah tahu itu. Mengerti karena mengalaminya sendiri. Atau bayi itu tiba-tiba bisa bilang "mamah" atau "papah" saja. Bisa membuat  gempar suasana seisi rumah. Gembira luar biasa kita orang tua dibuatnya! Berbicara dengan seorang wanita, dengan siapa saja adalah hal yang siapapun juga bisa. Biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Tetapi berbicara dengan seorang perempuan yang saya suka. Saya ada hati dengannya. Kuakui dari dulu saya susah sekali. Waktu SMP, saya pernah naksir, jatuh hati sama seorang anak wakil kepala sekolah. Berjalan di depannya tiba-tiba langkah saya jadi salah. Saya mati kutu. Langkah kaki jadi tak seirama dengan ayunan tangan. Bergerak sendiri-sendiri. Akhirnya tangan dan kaki jadi kompak.  Tapi tak sedap geraknya bila dilihat. Kaki kiri maju, bersatu dengan ayunan tangan kiri yang juga melaju. Jadilah saya berjalan seperti anggota Paskibra  yang kurang latihan. Kaku dan lucu. Gerak jalan seperti dakocan.  Jadi bahan tertawaan banyak teman. Saya jadi bulan-bulanan. Ramai. Seisi sekolah jadi tahu saya naksir anak wakil kepala sekolah itu. Saya jadi malu. Akhirnya saya tak pernah mengaku menaksir, apalagi bilang jatuh hati sama anak itu. Bahkan semakin berita itu tersiar saya selalu mencoba menghindar.  Jangan sampai berpapasan dengan gadis  itu. Saya tak mau tampil bodoh untuk yang kedua kalinya. Jadi hiburan gratis teman satu sekolah. Sekali lagi tidak. Saya suka anak wakil kepala sekolah itu. Tapi jangankan mendekatinya saya justru menjauh saja. Semakin menjauh semakin hati penasaran. Tetapi kami saling asing saja. Waktu berjalan.  Mengakhiri semua persoalan.  Kami ambil jalan hidupnya masing-masing. Bahkan kenalan atau bertegur sapa saja hampir tak pernah. Dan paradoks aneh itu berlanjut. Membuntuti ke manapun saya pergi. Turut ikut di manapun saya berada. Fenomena takut kepada wanita yang kita suka. Waktu SAKMA, saya naksir teman sekelas. Meilda, namanya.   Manis orangnya. Saya naksir dia, seperti si IQ atau mungkin  juga si Luki. Tapi tak lebih dari itu. Simpati. Mungkin juga jatuh hati. Tapi tak pernah curah hati. Senang melihatnya dari kejauhan saja. Dari dekat? Oh, itu tidak bisa! Dunia terasa gawat. Tubuh sedikit berkeringat.  Kaki dan tangan bisa jadi kaku semati tugu.  Seperti kecoa tergelincir di keramik dengan tubuhnya yang terbalik. Semua gerak hanya menghabiskan energi. Tanpa hasil sama sekali. Melirik melihat mukanya saja tak berani. Saya hanya bisa nunduk tapi tak bisa nanduk. Curi-curi pandang saja.  Kalau bicara antar kami cuma basa-basi saja. Senyum-senyum saja, bahwa kami ini teman dan bukan musuh. Tapi tak bisa berkembang menjadi sebuah keakraban yang lebih jauh. Susah jadi karib walau sudah jadi sohib. Padahal kami ini teman seangkatan  kawan seperjuangan. Begitulah kadang rasa suka pada lain jenis, adanya pada hati lelaki tak bernyali ini justru malah bisa jadi penghalang pergaulan saja. Kata orang cinta dan batuk tak dapat disembunyikan.  Agar tak ketahuan orang, batuk itu saya tahan, cinta itu saya pendam. Dan seperti biasanya waktu bisa dengan bijaksana menyelesaikannya. Semuanya baik-baik saja. Matahari tetap bersinar. Bumi selalu berputar. Dan bulan terus beredar pada garis orbitnya sendiri-sendiri. Bila saya ingat masa lalu itu, kadang saya tertawa geli sendiri. Kebodohan sendiri kalau sudah berlalu ternyata bisa menjadi lelucon pribadi yang paling lucu. Rasa pengecut juga begitu. Hal yang memalukan itu bisa jadi kenangan yang tak kalah berharga nilainya. Karena rasa pengecutku yang dulu itu, kini sedikit saja menjadi beraninya kita, sedemikian besar  saja rasa  syukur itu adanya. Betapa saya berterima kasih atas perasaan-perasaan ini. Kebahagian kecil bagi seorang lelaki dengan nyali yang kerdil. Tapi tak mengapa. Karena saya merasa  makin hari nyali itu makin berkembang saja. Tiap hari saya suka menelepon Ai itu. Kami tak pernah sekalipun bertemu muka. Tapi dalam seminggu itu karena perbincangan kami di telepon itu rutin dan sering, kami jadi makin akrab saja. Kami semakin saling kenal, dan sepertinya saling membutuhkan. Atau paling tidak jika satu hari saja telepon kelewat. Seharian  itu terasa gawat. Akhirnya kami jadi saling tukar rencana harian. Misalnya hari itu mau apa, dan pulang jam berapa. Perbincangan di telepon itu terasa sudah jadi candu bagi kami berdua. Entah mengapa. Ah, inikah yang namanya jatuh cinta, walau hanya lewat suara. Dan suara itu hampir tiap malam aku dengar. Menjadi pengantar tidur malam. Di pagi hari sampai aktivitas siang sampai sore hari suara pelan dan sopan itu selalu saja terngiang. Menemani perjalanan kerja sewaktu sendirian bergelayutan di kereta. Memovitasi penelitian di tempat kuliah. Dan jadi penggerak waktu kukayuh sepeda menuju pulang ke rumah. Ah, ternyata lelaki dengan nyali yang kerdil ini tak perlu sesuatu yang wah untuk merasa bahagia. Kebahagiaan itu betapa bisa lahir dari sesuatu yang sederhana, hanya suara pelan dan sopan dari yang seorang Ai, yang wajahnya mirip Yuko Natori, betapa bisa melambungnya rasa senang dalam diriku ini. Sebuah ekstasi dari sebuah ilusi. Ah, Tuhan kenapa saya bisa bahagia  begini... ==================================== Kisah selanjutnya baca link di bawah ini: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/06/05/sepenggal-kisah-cinta-dari-nagoya-14/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline