Lihat ke Halaman Asli

Surat Untuk Seorang Sahabat

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Surat Untuk Seorang Sahabat

Apa arti sebuah kematian, teman.Mungkin ia adalah ujung akhir dari kehidupan ini. Ataukah juga ujung awal dari kehidupan yang lain. Kata itu ada, untuk mendefinisikan sebuah ketiadaan. Semakin mencoba tahu, justeru semakin membuat saya termangu. Semakin merengkuh untuk memahami, semakin terjauh saja saya untuk bisa mengerti isi dan maknanya. Alam kematian di luar jangkauan. Cukuplah saja –setidaknya bagi saya-- , bahwa kematian itu adalah lawan sekaligus pasangan dari kehidupan ini.

Beberapa bulan terakhir kabar kematian bertubi-tubi datang, bak cendawan di musim hujan. Entah itu kabar duka dari teman lama atau teman kerja, saudara kandung atau saudara ipar, guru-guru kita, atau juga berita kematian tragis para selebritis. Ternyata di balik kabar duka itu kadang Tuhan menyelipkan suatu anugerah dan pengingat. Kematian itu semakin terasa saja kian dekat dengan urat, walau kadang cuma sesaat.

Sobatku, Anto. Bulan lalu Ayahandamu berpulang menghadap Yang Kuasa. Bulan ini Ibundamu menyusulnya. Kematian memang suatu hal yang lazim. Tapi ditinggal pergi untuk selamanya oleh kedua orangtua tercinta adalah duka yang tidak biasa. Kenyataan yang harus diterima, tetapi sulit kita mempercayainya.Orang-orang tercinta bagaimanapun juga kehadirannya sudah seperti udara. Selalu ada. Senantiasa tersedia di manapun kita berada. Selalu mengikuti kemanapun kita pergi. Dari rahim sampai lahir bahkan sampai dewasa dan beranak pinak seperti sekarang ini, kasih sayang mereka dalam kehidupan kita tak putus juga adanya. Ketiadaanya tentu membuat kita sesak dan terisak. Ruang terasa seperti hampa udara.Alam mendung. Dunia berkabung.

Saya turut berduka, tapi sungguh bingung bagaimana memilih kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Mengenai ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi keadaan ini serasa tak ada gunasaya untuk beringat pesan. Sejak sama-sama sekolah dulu aku tahu kau bahkan jauh lebih tabah dan sabar dariku. Dari lima bersaudara di keluargamu yang lelaki semua, sebagai anak sulung, kau mirip Yudhistira: Prabu Darma Kusuma, putra sulung pandawa yang penyabar dalam dunia peewayangan. Ditinggalkan orang dekat yang tercinta dirimupun jauh lebih berpengalaman. Kutahu kedua puteri mungilmu dulu, dua anak yang hendak Tuhan titipkan itu ternyata lebih dulu dipanggil olehNya.Tapi ada satu hal yang pernah kudengar dan kuyakini keniscayaannya kini , kawan. Tiadalah Tuhan memberi jalan mendaki, kecuali bahwa untuk membuat hambanya naik ke tempat yang lebih tinggi; tiadalah Dia memberi beban berat, kecuali untuk membuat hambanya menjadi lebih kuat.

Sekali saja saya bertemu dengan Ibundamu, dulu sobat, kalau kau masih ingat. Kulihat wajahnya sangat mirip denganmu. Ibunda tercinta kini memang telah tiada. Meninggalkan kita, anak-anaknya untuk selamanya. Tapi seperti pohon pisang yang sudah tua, di pucuk pohonnya kini telah keluar tandan buah pisang yang manis, di pangkal bonggolnya juga telah bermunculan anak-anak pohon pisang yang baru. Saya percaya anak-anak pisang itu pun seperti induknya yang akan senantiasa menebar manfaat.

Apa arti sebuah kematian, teman? Mungkin akhir dari suatu kefanaan, juga awal dari sebuah keabadian.

Teriring doa dan belasungkawa dariku.

Salam hormat dari seorang sobat,

Indra Malela. 3 Maret 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline