Beberapa saat lalu ada pemberitaan yang cukup menghebohkan. Seorang siswa kelas VII SMPN 2 Pringsurat di Temanggung, Jawa Tengah membakar sekolahnya sendiri. Diduga motif pembakaran karena amarah menjadi korban bullying teman sekolah.
Kasus bullying yang dialami oleh siswa ini sudah disampaikan kepada guru namun dianggap tidak dapat membantu perudungan yang dialami dirinya. Aksi ini seakan menjadi bukti bahwa bullying ibarat bom atom yang siap meledak.
Bagi korban, tindakan perudungan akan menciptakan rasa kesal, amarah hingga depresi. Hal yang dikhawatirkan ketika sudah memasuki tahap depresi bisa menciptakan respon yang tidak dikehendaki seperti minat sekolah menurun, perubahan sikap, luapan ekspresi yang meledak-ledak, rasa dendam atau yang mengerikan kasus bunuh diri.
Kasus bunuh diri yang menimpa seorang siswa di Banyuwangi hanyalah sebagian kecil yang berhasil diangkat media. Guyonan anak bisa menjadi sebuah petaka bagi si korban apalagi jika guyonan ini berlangsung jangka panjang dan bersifat negatif.
Guru sebagai orang tua siswa di sekolah sepatutnya dapat berkontribusi besar dalam pencegahan dan penyelesaian bullying di sekolah. Ada beberapa hal yang bisa dilalulan guru untuk mengurangi dampak bullying di antara siswa di sekolah.
# Jangan Anggap Perudungan Sebagai Kenakalan Anak Semata
Kita sadari dalam interaksi anak dengan teman sebaya kerap diselingi candaan yang menjurus perudungan misalkan mengejek fisik, kekurangan orang lain atau menunjukan inferior dalam diri.
"Cuma kenalakan anak kecil, udah biasa kok", penilaian ini kerap muncul di orang dewasa khususnya guru di sekolah ketika mendapatkan pengaduan. Padahal hal yang dianggap sepele bisa dirasakan berbeda bagi korban
Tidak semua anak siap mendapatkan perudungan bertubi-tubi dalam jangka waktu lama. Ini membuat mereka merasa tidak nyaman ketika bertemu dengan si pembully.