Tutupnya Toko Gunung Agung yang telah menjadi toko buku legenda di tanah air semakin menambah deretan toko buku yang lebih dulu melambaikan bendera putih alias tutup operasional.
Di kota saya saat awal tahun 2000an ada banyak gerai atau toko buku seperti Toko Gunung Agung, Togamas, Gramedia, hingga toko buku skala kecil. Saya ingat setiap awal semesteran atau tahun ajaran baru, saya sering ke toko buku untuk membeli buku pelajaran, membeli alat tulis atau sekedar melihat-melihat.
Bahkan tidak jarang saya ke toko buku besar berdiri lama membaca buku yang plastik sampul terbuka untuk sekedar membaca tanpa membeli. Saya akui tipe pelanggan ini termasuk dibenci oleh toko buku, mendapatkan informasi atau ilmu dengan cara gratisan.
Namun yang melakukan hal ini bukan saya seorang. Ada banyak pengunjung yang melakukan hal ini khususnya di toko buku yang terdapat di dalam mal. Sekalian ngadem (mencari kesejukan AC dalam ruangan) sambil menambah wawasan dengan membaca.
Alhasil sampai ada aturan merobek sampul plastik buku berarti membeli namun tetap saja ada buku yang sudah terlepas sampulnya oleh aksi pembaca nakal.
Kembali pada permasalahan tutupnya toko buku di tanah air. Saya melihat apakah ada keterkaitan dengan minat membaca atau literasi generasi di zaman sekarang?
Saya tidak ingin terburu-buru menyatakan hal ini karena belum ada penelitian khusus terkait hubungan ini. Namun saya menganalisis ada beberapa faktor pendukung mengapa toko buku kini bukan lagi menjadi bisnis menjanjikan.
# Munculnya Jurnal sebagai Referensi Akademik