Dua hari lalu saya menyempatkan keliling Denpasar. Ternyata di jalan masih banyak warga berkumpul bahkan sempat ada titik kemacetan.
Ternyata oh ternyata warga berkumpul untuk menampilkan karya Ogoh-Ogoh di sekitar balai desa atau depan jalan. Ini karena tepat sehari sebelum Nyepi akan ada pawai Ogoh-Ogoh yang diarak keliling desa.
Ini sesuai tradisi dalam masyarakat Hindu di mana pengarakan ogoh-ogoh dilakukan H-1 Nyepi yang dikenal dengan pengerupukan.
Pengarakan Ogoh-Ogoh pun dilakukan saat matahari tenggelam karena Ogoh-Ogoh menjadi representasi Bhuta Kala.
Saya semasa kecil suka ikut prosesi pengarakan. Sore saat pengerupukan, Ogoh-Ogoh dari berbagai banjar/desa akan dikumpulkan di titik tertentu. Biasanya jalan desa atau lapangan desa.
Setelah matahari tenggelam, pemuda yang mendapatkan peran dalam pengarakan akan menggunakan pakaian hitam dengan kain kamen. Tidak jarang pemuda ini membuat pakaian atau kaos khusus sebagai identitas kelompok atau asal desa.
Warga akan memenuhi sepanjang jalan untuk melihat Ogoh-Ogoh. Jika memiliki fisik prima dan kuat berjalan kaki maka tidak ada salahnya ikut keliling desa memeriahkan pawai Ogoh-Ogoh. Dulu saat kecil saya suka ikut jalan kaki yang jika dihitung bisa 4 kilometer, tetapi karena beramai-ramai jadi tidak terasa.
Ogoh-Ogoh Sebagai Karya Seni Spektakuler
Ogoh-Ogoh telah menjadi bagian dalam perayaan Nyepi bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali. Meskipun sempat ada larangan pawai selama masa pandemi, tradisi ini tidak hilang.
Ogoh-Ogoh juga menjadi ajang kreativitas dan seni masyarakat. Tidak heran ada persaingan tersendiri untuk bisa menampilkan Ogoh-Ogoh yang unik, besar, rumit dan memiliki nilai berbeda.