Bali memiliki beragam keunikan termasuk sistem penamaan pada masyarakatnya. Bahkan melalui nama saja kita bisa menebak apakah seseorang berasal atau punya garis keturunan dari Bali.
Mungkin pembaca pernah mendengar atau punya teman dengan nama Ida Bagus, Ida Ayu, Dewa, Anak Agung, I Gusti, Desak, Tjokorda yang merupakan gelar kebangsawanan di Bali.
Selain gelar di atas sebenarnya sistem penamaan di Bali juga menganut sistem urutan lahir. Contoh :
- Anak pertama umumnya diberi nama Putu, Wayan, Ni Luh, atau Gede.
- Anak kedua umumnya diberi nama Kadek/Kade, Made, atau Nengah.
- Anak ketiga umumnya diberi nama Komang atau Nyoman.
- Anak keempat umumnya diberi nama Ketut.
Seorang dosen sekaligus pakar budaya pernah mengatakan bahwa saat ini Bali tengah krisis generasi muda bernama Ketut. Wow, saya kaget mendengar pernyataan ini. Namun perlahan saya seakan ikut menyadari kondisi ini.
Setidaknya ini dikarenakan ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, seperti :
# Program Keluarga Berencana (KB) Nasional
Kita tahu bahwa program KB sudah lama dilaksanakan oleh pemerintah untuk menekan jumlah laju penduduk yang kian naik. Melalui slogan "2 Anak Cukup" yang kerap dipromosikan atau diiklankan diharapkan dengan menekan jumlah kelahiran maka Indonesia bisa meratakan pembangunan dan meminimalisir dampak kenaikan jumlah penduduk.
Dulu sebelum ada program KB Nasional, masyarakat khususnya di Bali dikenal sebagau keluarga besar. Kakek saya saja memiliki 12 saudara, nenek saya sekitar 8 saudara sedangkan ibu saya memiliki 8 saudara.
Jumlah ini membuat penamaan Ketut masih bisa lestari karena bagi masyarakat Bali dulu menilai banyak anak banyak rejeki dan keluarga dengan banyak anak akan membuat kondisi rumah tangga kian berwarna.
Kini masyarakat Bali pun mulai menerapkan sistem KB Nasional setidaknya jika kebablasan pun keluarga muda akan memilih maksimal 3 anak. Saya berkaca pada keluarga besar dimana hanya ibu dan adiknya yang ke-7 yang memiliki anak lebih dari 2 orang.