Pesawat baru saja lepas landas dan lampu tanda sabuk pengaman sudah dimatikan. Seketika saya bersiap istirahat dengan tidur sejenak selama penerbangan yang membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam.
Tidak lama terdengar suara tangis balita dari salah satu kursi penumpang. Sejujurnya saya pun terbangun karena mendengar suara tangisan tersebut. Terlihat ibu sang balita berusaha menenangkan bahkan menggendong si balita ke ekor pesawat.
Saya memahami bahwa orangtua balita berusaha menenangkan si anak secepat mungkin. Tampak rasa kesungkanan orang tua khawatir tangis anaknya menganggu kenyamanan penumpang lainnya.
Situasi ini kerap terjadi dalam penerbangan yang terdapat penumpang balita. Ketidaknyaman si balita, terbatasnya ruang gerak, lapar, ingin buang air atau bahkan tekanan udara membuat rasa sakit khususnya pada pendengaran.
Teringat ketika saya pertama kali naik pesawat atau saat kondisi pilek. Saya merasakan sakit di gendang telinga saat sudah di ketinggian tertentu dalam pesawat. Bahkan terlalu sakitnya saya sampai mengeluarkan air mata.
Kondisi ini juga terjadi pada banyak penumpang lainnya apalagi jika terbang dalam kondisi pilek. Rasa sakit ini bisa saja yang membuat balita menangis saat di pesawat akibat perubahan tekanan udara. Jadi saya masih memaklumi situasi ini.
Situasi berbeda sempat terjadi pada pengalaman saya menggunakan kereta Malang-Banyuwangi. Ada penumpang keluarga yang membawa 2 anak kecil sekitar usia 5 dan 3 tahun duduk di dekat kursi saya.
Kedua anak si penumpang ini sangat aktif bahkan terlalu aktif. Selama perjalanan, kedua anak ini berteriak, berlari kesana-kesini, menangis bahkan mengganggu penumpang lain seperti menarik rambut, baju atau datang ke kursi penumpang lain.
Saya melihat rasa ketidaknyamanan dari penumpang lain apalagi si orangtua terlalu sibuk dengan rutinitas sendiri tanpa memperhatikan aktivitas si anak.