Topik pilihan ini mengingatkan kisah masa sekolah di Bali di mana sekitar tahun 2005 ada aturan setiap hari raya Purnama (sistem penanggalan bulan di Bali) mewajibkan siswa-siswi Hindu di Bali menggunakan pakaian adat dan bersembahyang di sekolah.
Bagi siswa non-Hindu diberikan kebebasan untuk berpakaian sekolah atau berpakaian adat pada saat Purnama. Saya yang notabanenya siswa non-Hindu justru suka menggunakan pakaian adat busana Hindu ke sekolah. Entah kenapa diri merasa lebih ganteng jika pakai udeng dan pakaian ala orang Bali.
Seiring waktu ada perubahan kebijakan di Bali dimana setiap hari Kamis. Aturan ini tertuang dalam Pergub nomor 79 tahun 2018 tentang penggunaan baju adat Bali secara serentak terkait busana adat daerah.
Aturan tersebut berisi meminta masyarakat di lembaga tertentu menggunakan busana adat Bali setiap Kamis termasuk di lingkup pendidikan.
Bagaimana pandangan personal saya?
Sejujurnya saya menyambut positif kebijakan ini meskipun saya sendiri non-Hindu dan pendatang. Prinsip saya ini adalah konsekuensi merantau di daerah orang lain. Di mana bumi dipinjak disitu langit dijunjung, pepatah lama yang selalu saya pegang selama merantau.
Di sisi lain aturan ini juga tidak terlalu kaku karena di lingkup pendidikan pun siswa Non Hindu masih diperkenankan tidak menggunakan busana adat.
Contoh saat saya melewati salah satu Sekolah Dasar di dekat rumah saat jam istirahat sekolah. Saya melihat banyak siswa-siswi yang berpakaian sekolah biasa yang menandakan bahwa mereka bukan beragama Hindu.
Keponakan-keponakan saya sepertinya mengikuti jejak saya dimana mereka tetap menggunakan busana adat Bali Madya saat hari Kamis. Bagi mereka, busana adat Bali tidak selalu mencerminkan hanya boleh digunakan masyarakat Bali. Beberapa atribut busana pun umum ditemukan di daerah lain.
Udeng atau penutup kepala yang kerap digunakan Pria Bali pun mirip dengan penutup kepala Totopong dari suku Sunda, Jawa Barat atau Tanjak bagi masyarakat Melayu.