Tahun 2009, adik sepupu saya mendaftar ujian mandiri untuk masuk di Fakultas Kedokteran di salah satu kampus.
Tiba-tiba seorang oknum mengatasnamakan pejabat kampus menawarkan untuk "jalur belakang" yaitu dengan menyiapkan dana ratusan juta agar sepupu saya bisa lolos di FK kampus tersebut.
Penampilan dan gaya bicara oknum tersebut sangat meyakinkan karena menjelaskan posisi di kampus serta menginformasikan uang dapat dibayarkan saat diterima.
Bagi yang memiliki dana finansial lebih dan keinginan yang tinggi, tawaran ini pasti sangat menggiurkan karena bisa masuk di jurusan idaman tanpa perlu bersusah payah.
Kasus penangkapan Prof. Dr. Karomani, M.Si, oknum rektor Universitas Lampung (Unila) terkait kasus penyalahgunaan wewenang jabatan dalam penerimaan mahasiswa jalur mandiri seakan mengingatkan saya pada kejadian serupa yang ditawarkan pada sepupu saat di tahun 2009.
Saya menilai kasus ini ibarat gunung es, hanya sedikit yang tampak namun masih banyak kasus serupa yang justru tidak muncul di permukaan. Setidaknya ini berdasarkan pengamatan saya di mana kasus jalur belakang dalam dunia pendidikan bukanlah hal baru.
Saat masih di bangku sekolah, ada beberapa teman yang justru menginfokan jika dirinya diterima melalui jalur belakang.
Orang tua mendekati pejabat sekolah agar bisa memasukkan anaknya di sekolah tersebut. Faktor kedekatan personal hingga iming-iming sesuatu sebagai timbal balik menjadi alasan adanya oknum pendidikan yang menyalahgunakan wewenang.
Namun uniknya, menjadi siswa atau mahasiswa jalur belakang pun tidak selalu berakhir indah. Ternyata ada hal di luar dugaan yang justru membuat mahasiswa jalur belakang mengalami beberapa masalah yang dihadapi saat menempuh pendidikan. Apa saja itu?