Sempat saya iseng bertanya pada beberapa orang kapan terakhir menonton pertunjukan wayang kulit?
Seorang teman bernama Palupi mengatakan terakhir menonton saat kuliah karena kebetulan ayahnya suka atraksi budaya jadi sering mengajaknya menonton atraksi wayang kulit. Namun sebaliknya banyak teman saya yang lain menjawab nyaris tidak pernah menonton atraksi wayang kulit.
Jika pertanyaan tersebut ditanyakan kepada saya, saya hanya mengingat sekali menonton wayang kulit itupun saat Sekolah Dasar (SD) karena ada salah satu keluarga yang mengadakan hajatan dan mengundang dalang wayang kulit untuk menghibur warga disekitar rumahnya.
Jika di flashback artinya nyaris momen itu terjadi 20 tahun lalu. Setelah itu saya tidak pernah menonton atraksi wayang kulit lagi.
Saya mencoba menganalisis bertanya kepada beberapa teman mengapa dirinya kurang antusias menonton pagelaran wayang kulit. Alasan yang sempat terkumpul diantaranya :
1. Kurang Bisa Bahasa Daerah
Hal ini banyak dirasakan oleh penonton generasi muda di mana umumnya pagelaran wayang kulit menggunakan bahasa daerah dalam level tinggi.
Misalkan bagi masyarakat Suku Jawa menggunakan bahasa Jawa Krama Lugu ataupun Krama Inggil; jika di Bali menggunakan bahasa Bali Alus Singgih, Alias Sor atau Alus Mider.
Jangan terlalu berharap jika dalang menggunakan bahasa anak muda kekinian seperti Acakadut (bahasa Sunda yang berarti sembarangan), Lur (bahasa Jawa dari kata Sedulur yang berarti saudara), Cuk atau Cok (bahasa kasar sekaligus bahasa keakraban masyarakat Surabaya), Kera (bahasa walikan khas Malang yang berasal dari kata Arek atau orang) dan sebagainya.
Kendala tersebut karena masyarakat Indonesia tergolong heterogen. Akan sangat kesulitan ketika masyarakat dari Medan, Padang, Kalimantan, Maluku atau daerah lainnya ingin menonton atraksi wayang kulit namun tidak paham apa yang disampaikan karena terkendala bahasa.