Minggu, 14 Maret 2021 masyarakat Hindu Bali akan merayakan Nyepi Tahun Caka 1943 (sistem penanggalan Bali). Saya memiliki pengalaman sendiri merayakan Nyepi di Pulau Bali sebagai masyarakat minoritas.
Sebenarnya Ibu saya memiliki garis keturunan Hindu bahkan berasal dari keluarga salah satu arya di Bali. Mengingat ayah saya berasal dari Jawa dan beragama Katholik serta menerapkan sistem Patrilineal yaitu mengatur silsilah dari pihak ayah maka saya memiliki darah campuran Jawa-Bali dan menganut agama Katholik seperti ayah.
Tinggal di Bali sejak kelas 4 SD hingga lulus SMA tentu memberikan kesan sendiri bagaimana saya merayakan momen Nyepi di Bali. Ada sedikit kisah yang ingin saya bagikan kepada pembaca Kompasiana.
Prosesi perayaan Nyepi sebenarnya dipersiapkan beberapa hari sebelumnya. 2 Hari sebelum Nyepi, umat Hindu di Bali akan melakukan Melasti yaitu pengarakan sarana persembahyangan ke pantai atau danau sebagai bentuk penyucian. Sehari sebelum Nyepi, masyarakat Bali melakukan upacara Bhuta Yadnya.
Di sini upacara Bhuta Yadnya bertujuan untuk menciptakan ketentraman hidup dengan mengusir atau menetralkan kekuatan/hal negatif. Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam Bhuta Yadnya adalah melakukan Mecaru.
Mecaru bertujuan untuk menciptakan keharmonisan Bhuwana Agung (Alam Semesta) dengan Bhuwana Alit (Manusia dan sekitarnya) dengan menghanturkan berbagai sesajen (caru) sesuai dengan ketentuannya.
Selesai melakukan Mecaru, akan dilanjutkan dengan Pengerupukan. Saya ada pengalaman menarik dengan kegiatan Pengerupukan. Mengingat saat kecil tinggal bersama dengan Nenek dari Ibu yang beragama Hindu.
Saat sore hari (H-1 Nyepi), saya sudah standby membantu nenek melakukan proses Pengerupukan. Tugas saya sederhana yaitu membawa kentongan dan membunyikannya secara keras dengan mengelilingi pekarangan rumah dan merajan (pura keluarga).
Saat kecil tugas ini sangat menyenangkan karena mengelilingi rumah dengan membawa kentongan seakan suasana menjadi riuh. Saya sempat bertanya pada nenek mengapa melakukan proses Pengerupukan, nenek mengatakan ini bertujuan untuk mengusir roh jahat (Bhuta Kala) yang ada di sekitar rumah.
Pengerupukan selesai maka segeralah dimulai acara akbar sebelum penyepian yaitu pengarakan Ogoh-Ogoh. Bagi yang belum tahu, ogoh-ogoh merupakan patung yang sengaja dibuat sebagai representasi dari perwujudan Bhuta Kala yang memiliki sifat bengis dan jahat.