Beberapa hari lalu, Grup WhatsApp Kampus dipenuhi dengan ucapan berbela sungkawa. Ibu Vita, mantan Kaprodi saat di kampus menghembuskan nafas terakhir.
Setelah dikonfirmasi, beliau menjadi salah satu korban dari keganasan Covid-19. Padahal beliau baru balik dari luar negeri setelah menyelesaikan studi S3 di Jepang.
Ironisnya, 2 bulan sebelumnya seorang dosen lainnya berpulang pada Sang Pencipta karena penyakit yang sama, terpapar virus Covid-19. Kami memanggilnya Pak Toni, dosen muda yang energik dan dekat dengan mahasiswa.
Saya memiliki kesan sendiri dengan beliau yang menjadi dosen penanggungjawab AsLab Hubungan Internasional tempat saya berkecimpung selama kuliah.
Hanya dalam kurun waktu 2 bulan, 2 orang dosen terbaik di Prodiku menyerah melawan penyakit COVID-19. Kasus ini semakin menambah rentetan korban yang meninggal karena COVID-19 yang berasal dari dunia pendidikan.
Suami teman saya yang mengambil S2 bidang kesehatan di Universitas Indonesia pernah memposting banyaknya dosen hingga Profesor dalam bidang kesehatan meninggal karena tugas mulia melayani pasien Covid-19. Ini karena selain sebagai dosen di kampus, mereka juga adalah dokter spesialis, praktisi serta peneliti kesehatan di rumah sakit.
Apa yang membuat saya mengganggap banyaknya tenaga pendidik profesional yang meninggal terpapar COVID-19 adalah kerugian terbesar bagi bangsa kita?
Saya masih ingat saat pelajaran sejarah di sekolah dulu. Ketika Kota Hiroshima dan Nagasaki di bom nuklir oleh Amerika Serikat. Kaisar Hirohito bertanya, berapa jumlah guru yang tersisa?
Pertanyaan yang terkesan simple namun sangat bermakna. Disini Kaisar Hirohito menyadari pentingnya peran Guru untuk memulihkan kondisi negaranya pasca tragedi tersebut.
Peran guru dalam hal ini pendidik sangat dibutuhkan untuk generasi muda karena ilmu yang mereka miliki diharapkan dapat melahirkan generasi muda yang cerdas, terampil dan kuat untuk membangun kembali negaranya yang hancur lebur.