Kakao (Theobroma cacao) atau lebih dikenal dengan tanaman cokelat merupakan komoditi perkebunan unggulan ekspor non migas di Indonesia dan menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga sebagai penghasil kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Tahun 2012, komoditas kakao Indonesia telah mencapai 750 ribu ton sehingga memiliki potensi baik bila dimaksimalkan sebagai kawasan agrowisata. Ironisnya, potensi besar dari perkebunan kakao ini tidak berbanding lurus dengan pembangunan infrastruktur guna menunjang perkebunan kakao sebagai tujuan wisata agro kedepannya. Padahal bila agribisnis kakao dapat dikembangkan dan dikelola secara baik, bukanlah mustahil bila Indonesia menjadi negara yang fokus pada ecotourism.
Secara nasional, Pulau Sulawesi sangat bisa diandalkan sebagai pilot project pengembangan Cacao Ecotourism di kawasan Indonesia Timur. Ini didasarkan data produksi kakao secara nasional mampu mengungguli Sumatera maupun Jawa.
Jumlah produksi kakao di Sulawesi telah menyumbang 60,18 persen dari total produksi nasional yang mencapai 538.059 juta ton. Potensi lainnya dengan menfokuskan pembangunan infrastruktur di Sulawesi akan ikut serta dalam program pemerataan pembangunan nasional baik pembangunan fisik, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maupun peningkatan kuantitas Sumber Daya Alam (SDA) khususnya tanaman kakao. Tidak hanya itu dengan menjadikan Pulau Sulawesi sebagai pilot project Cacao Ecotourism yang notabane-nya memiliki letak geografis yang dekat dengan Malaysia dan Filipina semakin memperkuat potensi kakao Indonesia secara internasional.
Apa yang dapat dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) dalam mewujudkan pembangunan infrastruktur sentris dengan cara mengembangkan wilayah Sulawesi sebagai kawasan yang memiliki potensi sektor ekonomi dan wisata melalui Cacao Ecotourism?
Kementerian PUPR seyogyanya membangun sinergis dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta pemerintah pusat maupun daerah guna menyukseskan program ini.
Berkaca pada keberhasilan realisasi Wisata Kampung Coklat di Blitar, Jawa Timur dapat menjadi referensi dalam pembangunan infrastruktur Indonesia sentris dilakukan untuk kawasan Cacao Ecotourism di Sulawesi. Adapun pembangunan infrastruktur sentris yang dapat dibangun antara lain :
Pembangunan Infrastruktur Fasilitas dan Akses Jalan
Pembangunan inftrastruktur fasilitas ini guna mendukung perkebunan kakao tradisional sehingga menjadi kawasan wisata berbasis edukasi, lingkungan dan ekonomi. Untuk mendukung hal tersebut maka perlu dibuatkan aula/ruang pertemuan, mushola, tempat duduk, areal bermain anak, areal perkebunan yang telah tertata, serta akses jalan yang mendukung. Pembangunan fasilitas yang nyaman dan mudah diakses akan menjadi daya tarik bagi pengunjung.
Berkaca pada keberhasilan realisasi wisata Kampung Cokelat di Kabupaten Blitar yang menarik wisatawan khususnya pecinta cokelat namun juga menjadi sarana edukasi dan penataan lingkungan yang lebih baik. Ini tidak terlepas dari dukungan pemerintah maupun pihak swasta yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur fasilitas yang memadai. Ini juga dapat diterapkan di wilayah Sulawesi kelak mengingat potensi Sumber Daya Alam (SDA) kakao yang besar, Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sudah terampil dalam perkebunan, hingga lahan yang luas untuk dijadikan wisata Cacao Ecotourism.
Pembangunan Infrastruktur Balai Penelitian dan Pelatihan
Pembangunan infrastuktur lainnya adalah menfokuskan pada areal produksi olahan kakao. Areal produksi ini meliputi pabrik pengolahan kakao, areal penjemuran, hingga laboratorium pangan. Tujuannya pembentukan area ini untuk mengolah kakao menjadi barang konsumsi atau barang setengah jadi serta dapat mencicipi produk-produk olahan berbahan dasar kakao seperti kembang gula coklat, selai coklat, wafer coklat, biskuit coklat, powder coklat, minuman berupa susu coklat, hingga produk kecantikan. Adanya pembangunan area produksi seperti pabrik maupun laboratorium pangan menjadikan pengunjung mengetahui proses produksi maupun memahami standardisasi produksi coklat.