Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara memicu respon beragam dari berbagai kalangan. Ini mengingat dikeluarkan peraturan dan UU tersebut, pemerintah mulai mengubah orientasi ekpor tambang dan mineral yang semula diekpor dalam hasil tambang mentah menjadi pengolahan barang jadi atau setengah jadi. Tidak dipungkiri bauksit dan alumina menjadi komiditas tambang difokuskan untuk dilakukan sistem smelter.
Tulisan ini saya tujukan untuk meningkatkan optimisme bagi stakeholders bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk memaksimalkan nilai tambah dari pengolahan bauksit dan alumina melalui sistem smelter sekaligus menjadi jawaban atas respon pesimis tentang anggapan ketidaksiapan pemerintah Indonesia mengolah hasil tambang dan mineral secara mandiri.
Apa yang membuat Indonesia siap hadapi tantangan industri bauksit dan smelter alumina?
Bila melihat potensi sumber daya bauksit di Indonesia menurut hasil survey United States Geological Survey (USGS) yang dikeluarkan tahun 2013, sumber daya bauksit Indonesia telah mencapai 838,9 juta ton dengan jumlah cadangan bauksit mencapai 302,3 juta ton yang terdiri dari cadangan terkira sebesar 149,5 juta ton dan cadangan terbukti 152,8 juta ton dan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-6 negara yang memiliki potensi bauksit terbesar di dunia dan peringkat ke-4 dalam tingkat produksi di dunia setelah Australia, Cina, dan Brasil.
Disisi lain, alumina Indonesia memiliki potensi yang sama besarnya dengan bauksit. Ini mengingat alumina sebagai bahan baku dalam industri peleburan aluminum yang banyak hasil produksinya dibutuhkan masyarakat. Bahkan Kementerian ESDM dalam berbagai laporannya menegaskan bahwa diperkirakan tahun 2020, kebutuhan akan konsumsi aluminium dunia diperkirakan mencapai 81,09 juta ton dimana hingga saat ini produksi yang berhasil dipenuhi baru sebesar 77,23 juta ton. Oleh karena kekurangan pasokan sebesar 3,76 juta ton membuka peluang bagi industri aluminium Indonesia untuk memenuhi kekurangan ini.
Kompasianer dapat membayangkan dengan potensi yang besar ini bila tetap mengandalkan pada ekspor tambang mentah, pendapatan nasional akan hasil jual barang tambang menjadi sangat kecil mengingat nilai jual tambang mentah relatif rendah dibandingkan bila diolah menjadi tambang jadi atau setengah jadi. Artinya Indonesia sebagai produsen tambang akan dirugikan bila tetap menjual hasil tambang dalam bentuk mentah dan kemudian mengimpor kembali dalam bentuk jadi. Dengan terbitnya Undang-UndangNo. 4 tahun 2009 dan Peraturan Menteri ESDM tentang nilai tambah mineral, akan meningkatkan dayasaing alumina dan aluminium Indonesia di dunia, sehingga prospek perkembangan bauksit Indonesia dimasa mendatang akan lebih baik.
Smelter Grade Alumina (SGA) yang kini tengah dipersiapkan oleh PT. Aneka Tambang (Antam) Tbk selaku produsen bauksit dalam negeri menjadi angin segar untuk menjawab tantangan tersebut. Pembangunan SGA ini pun digadang sebagai pembangunan smelter nasional dengan pembiayaan mandiri. Ini menjadi bukti bahwa Indonesia pun mampu memiliki smelter sendiri tanpa harus mengandalkan sepenuhnya pada investasi asing.
Proyek pembangunan SGA bila terealisasi akan berlokasi di Mempawah, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat adalah bukti keseriusan pemerintah untuk meningkatkan daya saing bauksit dan alumunium tanah air. Penulis berlandaskan data Kementerian ESDM melihat bahwa dengan pembangunan proyek SGA senilai US$ 1 milyar ini nantinya tidak hanya akan memenuhi kebutuhan bahan baku aluminium setengah hingga bentuk jadi untuk kebutuhan domestik maupun dalam ekspor dikemudian hari.
Harapan Smelter Grade Alumina
Semakin kuatnya perdagangan bebas dalam skala global hingga Asean Community membuka ruang bagi SGA sebagai sarana meningkatkan produktivitas dan nilai jual bauksit dan aluminium kedepannya. Penulis memandang bahwa SGA secara perlahan akan mampu menjadi tumpuan untuk mengolah hasil sumber daya bauksit di tiga wilayah utama di Indonesia seperti Kalimantan Barat, Kepulauan Riau dan Bangka-Belitung. Ini karena potensi sumber daya bauksit yang dimiliki ketiga kawasan ini secara keseluruhan diperkirakan mencapai sekitar 3,48 miliar ton. Sejauh ini sebelum diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009, seluruh bijih bauksit diekspor ke luar negeri seperti Cina dan Jepang sedangkan seluruh bijih alumina diekspor ke luar negeri seperti Australia. Secara langsung, SGA akan mampu menekan pengiriman ekspor hasil tambang mentah sehingga nilai tambah bauksit dan alumina akan meningkat pendapatan nasional saat akan diekpor keluar negeri.
Beroperasinya SGA bahkan dapat memacu para industri nasional baru dalam bidang manufaktur. Sebagai contoh dengan pengembangan smelter alumina menjadi aluminium, komponen industri berbahan baku aluminium dapat terpenuhi di dalam negeri dengan harga yang jauh lebih terjangkau dibandingkan import dari negara lain. Aluminium sangat dibutuhkan untuk industri,
- Industri otomotif, untuk membuat bak truk dan komponen kendaraan bermotor.
- Sektor konstruksi dalam pembangunan perumahan seperti kusen dan jendela.
- Industri manufaktur untuk membuat badan pesawat terbang.
- Industri pengolahan makanan dan minuman, untuk kemasan berbagai jenis produk.
- Sektor lain, misal untuk kabel listrik, peralatan rumah tangga dan barang kerajinan
- Membuat termit, yaitu campuran serbuk aluminium dengan serbuk besi oksida, digunakan untuk mengelas baja di tempat, misalnya untuk menyambung rel kereta api.
Tinginya pertumbuhan industri manufaktur di bagai sektor juga mendukung meningkatnya permintaan aluminium mengingat hampir seluruh industri manufaktur selalu mengandung unsur aluminium. Dari situs online yang penulis dapatkan setidaknya ada empat perusahaan aluminium terbesar di Indonesia, yaitu PT. Alumíndo Light Metal Industry Tbk. (ALMI), PT. Indal Aluminium Industry (Indal), PT. Starmas Inti Aluminium Industry (SIAI) dan PT. Indo Aluminium Intikarsa (IAI). Maspion Grup melalui dua anak perusahaannya, yaitu PT. Alumindo Light Metal Industry Tbk (ALMI) dan PT. Indal Aluminum Industry merupakan produsen aluminium lembaran terbesar di Indonesia. Peluang PT Antam dalam memasarkan bahan baku aluminium setengah jadi pasca proses smelter juga mudah diserap oleh pelaku industri nasional maupun multinasional yang ada di Indonesia.