Lihat ke Halaman Asli

Cacing Jadi Naga

Diperbarui: 19 Juni 2016   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki gemuk di hadapanku duduk dengan menyandarkan punggung dan kepala di bangku. Kepalanya mendongak ke langit-langit seperti sedang menatap pelapon rumah. Kakinya diselonjorkan. Sesekali ia menghisap rokok yang tadi kutaruh di atas meja dengan menghembuskan asapnya kuat-kuat. Asap itu bergabung dengan udara malam dingin yang masuk melalui lubang angin geribik rumahku.. Sesekali pula ia mengangkat kepala dan membaringkan kembali pada bagian atas bangku tempatnya menyandarkan punggung.

Pakaian yang dikenakan terlihat mewah dan memang sejak aku mengenalnya, ia paling tidak suka mengenakan pakaian murahan ataupun pakaian bekas. Melalui sinar lampu tempel yang bergantung di geribik rumah dengan cahanyanya yang remang-remang, terlihat wajahnya penuh kegelisahan. Entah apa yang difikirkan oleh lelaki gemuk itu, tetapi yang pasti dan yang sering didendangkan ke telingaku adalah kata-kata "cacing jadi naga". Mungkin kata-kata itu yang selalu membuat dirinya selalu gelisah.

Mulanya aku tidak mengerti maksud kalimat itu, namun setelah ia menjelaskan, barulah mengerti. Maksud dari kalimat itu adalah, orang miskin yang menjadi kaya. Setiap kali ia mengutarakan kalimat itu, selalu saja disertai dengan tawa bulat penuh ejekan yang menggelegar.

"Lihat saja nanti," katanya seperti berkata pada diri sendiri, "Aku akan buktikan bahwa aku bisa jadi orang kaya." Malam semakin merangkak. Mimpi-mimpi telah mendatangi dan menjadi bunga tidur bagi setiap insan yang mengisi malam itu dengan sebuah peristirahatan sementara. Hewan-hewan malam bernyanyi meramaikan kesunyian pada lipatan malam. Sesekali kendaraan bermotor berlalu di luar rumah. Cahaya bulan purnama memberikan sedikit penerangan pada alam malam di luar rumah.

Lelaki gemuk itu kembali mengisap rokok dan menghembuskan asap rokok dengan beringas. "Nanti kalau saya punya mobil," ujarnya, "Akan aku beri gambar pada kaca bagian belakang berupa, sebelah kiri seekor cacing dan sebelah kanannya seekor naga."

"Maksudnya?" tanyaku untuk menghangatkan malam yang dingin dan sesungguhnya aku sudah mengerti maksud kalimat itu.

"Ya supaya orang lihat, bahwa orang yang memiliki mobil itu adalah orang miskin yang kini menjadi orang kaya. Cacing jadi naga...ha...ha...ha..." tawanya seolah-olah tidak menghiraukan aku yang sudah terlalu lelah mendengarkan ceramahnya. "Dahulu," kata-kata keluar dari mulutnya kembali bersamaan dengan asap rokok. Matanya berkedip-kedip sembari melihat lampu tempel yang sesekali bergerak bolak-balik karena tiupan angin yang masuk melalui pori-pori geribik rumahku. "Saya selalu berteman dengan orang-orang kaya. Ya kaya melalui duit orang tua mereka. Tapi ya apa boleh dikata, aku melakukan itu lantaran membutuhkan uang."

"Walaupun jadi babu mereka?"

"Ya tidak juga. Kadang-kadang aku juga seperti babu mereka. Tapi itu semua kulakukan untuk menyenangkan hati mereka. Selain itu aku juga butuh mereka."

"Misalnya?"

"Ya banyak contohnya. Makan, minum, tempat tinggal, dan rokok.. Kau kan tahu sendiri sejak saya semester pertama, sudah tidak punya apa-apa."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline