Lihat ke Halaman Asli

Ketika Budaya Tidak Memanusiakan Manusia

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sedikit saja berbagi dengan para pembaca yang budiman.

Kerap kali kita memuja-muji kondisi kekinian akan kehidupan yang terjadi. Perkembangan teknologi yang semakin terbang melesat tinggi, bahkan jauh dari kesiapan lepas landas mental manusia itu sendiri. Namun kita -manusia- menilai bahwa ini semua harus terjadi, wajar. Karena waktu akan terus menerus bergulir tanpa peduli apakah kita siap menerima satu detik kemudian, satu menit, satu jam dan hari esok.

Perkembangan yang terjadi inilah yang disebut dengan budaya: Teknologi, ilmu pengetahuan, seni, ekonomi dan lain sebagainya. Perkembangan masing-masing aspek kehidupan inilah yang merangkum sebuah kebudayaan baru yang pada akhirnya bermuara pada peradaban manusia. Dalam peradaban, kerap kali kita mendengar bahwa "Peradaban menentukan derajat manusia pada saat itu". Apakah memang demikian adanya?

Sedikit menelisik lebih dalam, kita harus mengkaji ulang atas semua yang tlah terjadi dimuka bumi ini. Lebih sederhananya adalah masing-masing orang sebaiknya melakukan introspeksi. Adanya peradaban yang tidak diimbangi dengan kesiapan manusia itu sendiri, sama saja dengan tidak memanusiakan manusia itu sendiri. Analogi sederhananya adalah seperti ini:

Seekor ulat yang sedang menyulap dirinya menjadi kepompong, dimana ketika itu, ia kesulitan diri untuk melepas diri dari ikatan yang tlah ia buat untuk menutupi dirinya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk segera keluar dan melepaskan diri sebab ingin menjadi pribadi yang baru, fresh, cantik, indah dan memiliki value added dalam menyongsong kehidupannya yang baru. Semua hanya masalah waktu saja. Dan kita semua tahu, bahwa, dengan kondisi seperti itulah maka sang ulat akan menjadi kupu-kupu sepenuhnya. Dimana pergolakan yang terjadi ketika menjadi kepompong membuat kedua sayapnya menjadi kuat dan siap menerjang kehidupan barunya nanti. Namun bila ada yang membantunya untuk segera keluar dari perangkapnya sendiri tersebut, sebut saja alat bantu atau dibantu oleh manusia, maka kupu-kupu yang akan keluar nantinya tidak akan menjadi kupu-kupu. Melainkan akan menjadi seekor makhluk yang tidak memiliki identitas yang berselimut tubuh kupu-kupu.


Dari kisah analogi tersebut, baiknya kita -manusia- kembali meninjau ulang peradaban budaya kekinian. Banyak kisah-kisah tragis yang sering tampak di layar kaca ataupun tidak tampak. Banyak penyakit-penyakit yang semakin mewabah. Banyak bencana-bencana yang semakin akrab ditelinga kita. Pelecehan seksual, penistaan agama, pembunuhan, bunuh diri, stres, gila dan lain sebagainya.

Tinjau ulang kembali diri kita. Apakah kita secara jasmani dan rohani telah siap menerima kondisi budaya dan peradaban masa kini? Apa yang harus dilakukan? Mengakselerasi diri atau bagaimana?

Kembalikanlah semua ini pada keyakinan dan keimanan kita masing-masing. Karena semua bentuk titah-Nya sebenarnya telah mengarahkan pada budaya yang lebih baik dan beradab dalam memanusiakan manusia itu sendiri, bersahabat dengan alam dan persiapan dalam menyongsong hari kemudian.

Salam,

Indra Jatmiko

Bogor, 20 Mei 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline