Lihat ke Halaman Asli

Indra J Piliang

TERVERIFIKASI

Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Bukit Sidang

Diperbarui: 7 Agustus 2021   06:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Istimewa

Pipa-pipa kecil berwarna putih itu terletak berjejer sesuai alur jalan. Tapi ada juga yang disangga sembarangan, pakai kayu lapuk. Jalan semakin mendaki. Raungan motor yang membawaku seperti hendak berteriak.

Pada sebuah pertigaan, kami berbelok. Lalu berhenti di sebuah rumah, lebih tepatnya pondok. Tukang ojek turun, memanggil-manggil.

"Mak Itam! Mak Itam! Ini ada tamu dari jauh!"

Seorang lelaki, berwajah keras, keluar dari pondok itu. Tanpa baju. Dia mendongakkan kepala.

"Tunggu sebentar. Silakan duduk," katanya, sembari menunjuk bale bambu di depan pondok itu.

Dia masuk lagi. Tidak lama, dia muncul dengan baju lusuh bergambar seorang calon kepala daerah.

Aku memperhatikan pondok itu. Juga pemandangan di atas bukit dan di bawah lokasi rumah. Ada pisang yang baru diambil dari tandannya, tergeletak di pintu masuk. Ada juga karung berisi mentimun. Buah pinang yang sudah dibelah terjemur di halaman. Ada juga biji-biji coklat.

"Perkenalkan, Pak, nama saya Lindan. Saya mahasiswa asal Jakarta," kataku, sembari mengulurkan tangan.

Mak Itam menjabat tanganku, erat. Tangan petani, tentu. Berbeda dengan tanganku yang semakin jarang menggunakan pulpen.

Aku menjelaskan maksudku, mewawancarainya. Mak Itam ditunjuk masyarakat sebagai tokoh yang tepat untuk kuwawancarai. Aku ingin tahu bagaimana strategi perang gerilya yang diterapkan oleh pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Kalau catatan-catatan resmi aku sudah punya. Tapi sejarah bukan hanya sekadar catatan, tetapi juga ingatan dan perasaan.

"Saya hanya orang biasa, waktu itu masih sangat muda," ujar Mak Itam.

Dari informasi orang-orang, ia pandai bercerita.

***

"Ini bukan perang. Ini seperti berburu babi," teriak Datuk Sinaro, sambil membenahi celana galembongnya. Sudah dua hari Datuak Sinaro menelusuri jalan di Gunuang Tandikat, mencari lokasi persembunyian pasukan Ahmad Hosen. Tidak ketemu.

"Tapi tugas wajib dilaksanakan, Datuak. Minimal untuk disampaikan di dalam rapat nanti," ujar Buyuang Pinu.

"Apa yang mau dilaporkan? Tidak ketemu, ya, tidak ketemu!" timpal Pandeka Sati.

Ketiganya memang ditugaskan pasukan pusat untuk mencari lokasi tempat persembunyian pasukan pemberontak. Mereka sebetulnya keberatan. Namun, di zaman yang bagolak ini, siapa yang berani menolak perintah? Bisa-bisa nyawa melayang atau keluarga kena tendang.

Mereka menyeberangi sungai kecil yang mengalir jernih. Lalu naik ke atas lereng bukit. Malalak nama tempat ini. Perbatasan antara Agam dengan Padang Pariaman. Dua ekor anjing menjadi teman perjalanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline