Lihat ke Halaman Asli

Indra J Piliang

TERVERIFIKASI

Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Tabulasi Pemindahan Ibu Kota Sumatera Barat

Diperbarui: 2 Desember 2020   06:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

salah satu landmark Sumatera Barat | Sumber: Shutterstock via KOMPAS.com

Era lompatan kuantum. Begitu yang terjadi dalam seperlima abad ini. Keputusan-keputusan berani layak diambil oleh seorang pemimpin. Apapun pilihan keputusan itu, bakal masuk mahkamah opini. Tersedot pusaran arus lubuk perebutan ruang publik.

Selama meja palanta lapau tidak disingkirkan. Pemain lawan tak dicederai. Kepala botak tidak ditandukkan. Tentu tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Apalagi bagi yang belum disebut sebagai pemimpin dalam ranah hukum negara. Mereka yang sedang memanjat batang pinang pilihan raya yang dipenuhi gomok. Saling menginjak badan, bahu, dan kepala yang lain. Bertelanjang hingga sepinggang dan bawah pinggang. Ditertawakan segala pihak. Terutama oleh kaum bundo kanduang. Bagi yang sarawanya telanjur lepas, tak mengapa juga. Penonton yang menjadi wasit yang banyak tertawa adalah simbol utama Indeks Kebahagiaan Warga.

Jadi, kenapa takut berjanji? Pidato berapi? Jangan justru jadi badut. Berbalut bedak. Bertopeng ajaib. Jiwa Anda bakal terbelah. Tak bisa keluar dari fase panjat pinang itu. Pilihan yang tersedia satu: menjadi Joker. Walau semua orang potensial menjadi Joker, tak mesti lewat jalur pilihan raya, bukan?

Bacalah. Teori-teori kritis dalam ilmu sosial adalah pijakan paling kuat - walau tetap gamang, seperti berpijak di lumpur gambut Kalimantan - dalam mengarungi pergantian abad baru. Walau sangat sulit dipahami, pascamodernisme dan pascstruktural telah mengambil alih sejumlah pemerintahan. Bukan saja menggantikan pemikiran berlogo kiri, kanan, atau jalan ketiga hasil kompromi Antony Giddens, tentu. Negara-negara yang tak hendak berubah, disingkirkan oleh badai krisis, baik yang bersifat tunggal, ataupun multi-dimensional.

Yang paling tragis adalah nasib para pemimpin yang nyaman dengan strukturalisme. Mereka yang melupakan usia. Yang distrukturkan bukan lagi pemikiran dalam bentuk ideologi, tetapi diri sendiri, berikut DNA terdekat dalam genetika kekuasaan. Walau dikenang atau dikenal sebagai pahlawan dalam revolusi yang paling berdarah sekalipun, tetap saja sosok tua dan renta yang tak mau berubah dihoyak pikiran-pikiran anti kemapanan.

Tiga nama bisa dijadikan sebagai contoh abad ini. Ketiga nama itu berasal dari dunia Islam.

Satu, Saddam Hussein yang menjadi Presiden Irak sejak 16 Juli 1979 sampai 9 April 2003. Atau selama 24 tahun. Selama 11 tahun, Saddam menjadi Wakil Presiden Irak, sejak 1968.

Dua, Hosni Mubarak yang menjadi Presiden Mesir sejak 14 Oktober 1981 sampai 11 Februari 2011. Atau hampir 30 tahun. Sejak 1975, selama enam tahun, Hosni menjadi Wakil Presiden Mesir.

Tiga, Muammar Khadafi yang menjadi Presiden Libya sejak 1 September 1969 hingga 20 Oktober 2011. Atau lebih dari 42 tahun. Sebelum itu, Khadafi adalah seorang perwira militer berpangkat letnan.

Cerita tentang ketiganya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline