Dari empat calon gubernur Sumatera Barat yang maju kontestasi, bisa disebut hanya terdiri dari dua klaster. Yakni, Aparatur Sipil Negara (ASN) dan profesional. ASN menyangkut birokrasi sipil, bahkan termasuk kepolisian.
Warga non militer, ya sudah pasti sipil. Pensiunan militer? Ya sipil. Pekerja di lingkungan militer? Ya, sipil juga.
Setiap calon gubernur Sumbar sudah pasti seorang yang profesional. Apa yang disebut profesional? Tentu memiliki keahlian yang tak dimiliki sebagian besar masyarakat. Tanpa profesionalitas, seseorang tidak mudah lolos ke dalam kerucut atas pertarungan keterpilihan.
Profesionalitas dalam dunia moderen tentu tergabung dalam organisasi profesi. Seorang sejarawan, tergabung dalam Masyarakat Sejarawan Indonesia. Seorang Insinyur, tergabung dalam Persatuan Insinyur Indonesia. Seorang petani? Belum tentu bergabung dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Saya tentu yakin, setelah pensiun dari dinas kepolisian, seorang Fakhrizal tidak lagi menyebut diri sebagai pensiunan. Tentu beliau memiliki profesi diluar menegakkan hukum. Begitu juga Nasrul Abit, Mahyeldi Ansyarullah dan Mulyadi.
~~ Baru terpikir oleh saya, dalam politik ada yang disebut sebagai satu dan dua kata atas nama seseorang. Dua orang calon gubernur hanya cukup dengan satu kata: Fakhrizal dan Mulyadi. Dua orang lagi, dua kata: Nasrul Abit dan Mahyeldi Ansharullah. Itu jika saya telusuri wikipedia. Penambahan suku atau marga di belakang nama, apakah sudah tak dibenarkan lagi? Dulu, almarhum Husni Kamil Manik mengizinkan saya mencantumkan nama Indra Jaya Piliang dalam kertas suara ~~
Bagi saya, keempat tokoh ini sudah mewakili ketinggian pencapaian profesi, karier, pun kecimpung dalam penanganan urusan pemerintahan. Atau katakanlah dalam wadah yang wah: sebagai abdi negara.
Sejak militer dipisahkan dari kepolisian, kedua institusi dituntut profesional. Sebagai salah satu staf pengajar (tidak tetap) di sekolah tinggi militer, pemberi materi di Badan Intelijen Negara, penyusun kurikulum pendidikan politik di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), anggota Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) dan segala-macam riset, buku, makalah dan tulisan terkait bidang pertahanan dan keamanan, tentu saya mengetahui bagaimana konduite yang disusun bagi seseorang untuk menjadi perwira, sampai jenderal.
Begitu juga dalam tugas selama hampir lima tahun dalam Tim Penjamin Kualitas Reformasi Birokrasi Nasional Republik Indonesia, penyusun naskah akademik RUU Pelayanan Publik, penyusun naskah akademik RUU Penaggulangan Bencana Nasional dan macam-macam sejak dua dekade lalu, tentu segala galemak-peak dalam regulasi sudah saya hadapi.
Yang kini dibutuhkan adalah para pemimpin yang mampu menggerakkan segala macam aturan dari tingkat konstitusi hingga peraturan nagari atau peraturan desa itu menjadi sesuatu yang hidup. Tak terkecuali dalam arah pengembangan profesi di tengah-tengah masyakarat akar umbi. Profesi yang bisa dicapai lewat akademi atau pendidikan vokasi.