Hari ini, bertepatan dengan Pelantikan Presiden dan Wapres RI periode 2019-2024, adalah puncak HUT Partai Golkar ke-55. Tanggal kelahiran Partai Golkar diambil dari pendirian Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar) pada 20 Oktober 1964. Sebanyak 61 organisasi fungsional bergabung.
Namun, perkembangan yang pesat menyebabkan total 291 organisasi fungsional berada dalam barisan. Tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO) menampung 291 organisasi itu, yakni Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO), Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Organisasi Profesi, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Pertahanan Keamanan (Hankam), Gerakan Karya Indonesia (GAKARI), dan Gerakan Pembangunan.
Dalam 55 tahun perjalanan, Golkar yang semula berseberangan dengan partai politik, bersalin rupa menjadi Partai Golkar pada tahun 1998. Enam Ketua Umum Golkar dan lima Ketua Umum Partai Golkar menjadi nahkoda.
Lima orang berasal dari kalangan militer, yakni Djuhartono, Suprapto Sukowati, Amir Moertono (dua periode), Sudharmono, dan Wahono. Enam sipil, yakni Harmoko, Akbar Tanjung, Muhammad Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie (beserta HR Agung Laksono dalam kepengurusan kembar), Setya Novanto, dan Airlangga Hartarto. Dibandingkan dengan kepemimpinan sipil, ternyata kepemimpinan militer lebih stabil.
Fase krusial dalam perjalanan Golkar terjadi pada masa Ketua Umum Sudharmono (1983-1988). Sejumlah tokoh gerakan mahasiswa 1966 dibujuk dan sekaligus 'dibajak' masuk Golkar, yakni Fahmi Idris, Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung, Abdul Latief, Pontjo Sutowo, Muhammad Jusuf Kalla, Aulia Rahman, Freddy Latumahina, Siswono Yudhohusodo, hingga Sarwono Kusumaatmadja.
Mereka menghadapi Pemilu 1987 yang 'berat'. Kelompok ini biasa berkumpul di seberang Kantor Sekretariat Negara RI dalam wadah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Kelompok inilah yang pascareformasi memberikan harkat dan martabat bagi Partai Golkar moderen.
Sekalipun tidak lagi menjadi wadah bersama dari keluarga besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (POLRI) yang bukan anggota aktif, Partai Golkar masih menjadi daya tarik bagi kelompok fungsional dan profesional.
Kelompok fungsional adalah kalangan yang non partai politik, terutama berlatar-belakang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di masa lalu atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang non aktif di masa reformasi. Belakangan, kelompok dengan latar belakang Jalur A (Angkatan Bersenjata RI) dan Jalur B (Birokrasi) ini masuk ke pelbagai partai politik.
Dua orang calon wakil gubernur DKI Jakarta yang disodorkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, semula adalah PNS yang mengundurkan diri dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI.
Sementara, kelompok profesional yang bergabung ke dalam Partai Golkar lebih banyak berasal dari keluarga-keluarga politik di daerah. Sama sekali tidak terdapat data tentang berapa lembar kartu Nomor Pokok Anggota Partai Golkar (NPAPG) yang berhasil dikeluarkan setiap tahun.
Fase modernisasi keanggotaan dengan cara pemberian kartu NPAPG dengan 'hadiah' asuransi, sempat terjadi dalam masa kepengurusan Aburizal Bakrie.