Lihat ke Halaman Asli

Indra J Piliang

TERVERIFIKASI

Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Veto Kursi Menteri untuk Adian

Diperbarui: 5 Agustus 2019   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aktivis mahasiswa di era reformasi yang juga anggota Komisi VII DPR, Adian Yunus Yusak Napitupulu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/5/2016) | (KOMPAS.com/NABILLA TASHANDRA)

Adian Yunus Yusak Napitupulu adalah legenda hidup. 

Ia menjadi ikon gerakan mahasiswa 1998 dari sayap yang paling radikal. Ia memimpin organ aksi yang dikenal spartan. Tak kenal takut di lapangan aksi. Apalagi kalau bukan Forum Kota alias Forkot. 

Tak ada embel-embel kampus, atau kata "mahasiswa" di dalam nama itu. Nama yang pasti berkebalikan dengan idiom "Desa Mengepung Kota" yang bagai perangkap tikus bagi mahasiswa berhaluan kiri.

Nama Forkot pun berbeda dengan Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI) tempat saya bernaung sebagai alumni. Tak serupa juga dengan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) yang ikut saya bidani kelahirannya bersama Ubeidillah Badrun, Hengki, Danar dan kawan-kawan lain, seusai kegiatan "Simposium Nasional Angkatan Muda 1990an: Menjawab Tantangan Abad 21" di UI yang saya ketuai.

Walau punya nama mengkilap dan membuat gentar, Adian jarang menampakkan wajah. Berbeda dengan banyak pimpinan organisasi kemahasiswaan lain yang bergerak pada tahun 1998 yang mudah digunting kliping wajah mereka. 

Saya masih ingat panggung aksi di samping Gedung Nusantara III DPR/MPR RI yang diatur "jatah bicara"-nya oleh MC, saking banyaknya nama organ. Bisa jadi lebih banyak organ aksinya, ketimbang jumlah massa aksi yang berkerumun di sekitarnya. 

Di panggung itu Amien Rais orasi, didampingi sejumlah kawan saya, antara lain Mustafa Kamal dan Fahri Hamzah. Massa aksi KBUI berjaket kuning yang datang dalam jumlah paling banyak dengan menggunakan bis kuning UI, lebih memilih berada pada tangga Gedung Bundar.

Adian memegang tongkat komando. Tapi ia bukan sasaran jepretan kamera jurnalis dalam dan luar negeri yang menyemut. Seperti warna musik Kota yang terkenal tanpa syair, Forkot bergerak melahirkan dentuman demi dentuman. 

Bahkan, gemanya semakin kuat justru setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti pada tanggal 21 Mei 1998. Tragedi Semanggi I dan Semanggi II adalah karakter pemberang paling tepat untuk gerakan mahasiswa garis keras ini. Forkot lebih lama di lapangan, lebih berdarah, dibandingkan dengan organ aksi sayap kanan yang berganti bandana dengan "Reformasi Konstitusional".

Saya hanya sempat memantau gelombang aksi Semanggi bersama sejumlah aktivis KBUI. Kami lebih memilih Rumah Sakit Jakarta yang dipenuhi korban-korban luka di seluruh area.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline