Saya pertama kali mengenal facebook dari Mbak Nadia Madjid, orang pertama asal Indonesia yang meraih jabatan tertinggi di Voice of America. Mbak Nadia waktu itu gencar berdiskusi banyak persoalan keterbukaan di Indonesia. Tentu, saya mengenal Mbak Nadia jauh sebelum mengenal pemikiran almarhum Nurcholish Madjid dengan Pidato Kebudayaan yang mengguncang tahun 1994 di Taman Ismail Marzuki.
Facebook dipromosikan Mbak Nadia sebagai akun micro blogging yang lebih academic oriented ketimbang -- ehem -- Friendster yang saya gunakan waktu itu. Ditera oleh mahasiswa Universitas Harvard Mark Zuckerberg, para pengguna facebook awal memang anak-anak kuliahan dan bukan gerombolan anak-anak alay seperti citranya.
Lima tahun setelah didirikan, Barrack Obama dibantu oleh dua juta orang relawan yang kebanyakan anak-anak kuliahan itu; berhasil menggunakan facebook sebagai medium pemenangan.
Presiden pengganti Obama, dengan tipikal yang kontras, juga berhasil memerankan facebook sebagai sumber data utama (big data) guna meraih kemenangan. Kulit hitam digantikan kulit putih. Sosok energik, suportif dan muda digantikan watak yang judes, intimidatif dan sepertinya tak pernah tua. Ya, siapa lagi kalau bukan Donald Trump yang kini malah lebih banyak berkomunikasi via twitter, sebagaimana Fadli Zon dan Fahri Hamzah sahabat saya.
Berulang kali para demonstran di Gedung Putih berteriak kepada Trump untuk "Pulang ke negaramu, Russia!"
Trump menang dengan dugaan skandal pemilu yang melibatkan (konsultan) asal Russia. Bergemuruhnya para demonstran anti Trump, tidak sepadan dengan aksi serupa di Russia terhadap Boris Yeltsin, presiden pertama Russia pasca Uni Sovyet. Kebetulan, saya pernah menonton film yang berisi perjalanan dua orang warga Amerika Serikat yang menjadi konsultan politik Yeltsin dalam pemilu Juni 1991 itu. Dua orang warga Amerika Serikat yang membantu Yeltsin dari soal sepatu, bicara, hingga sisir rambut itu sama sekali tak dianggap sebagai "intervensi" Washington atas Moscow.
Satu medium micro blogging yang melahirkan dua presiden bak bumi dan langit itu memberi pertanda betapa facebook berhasil lepas dari stereotip tertentu. Pandangan politik pengguna facebook bisa ke kanan, bisa ke kiri, bisa ke pencak silat, bisa ke sepeda, bisa ke nada pidato ala Bung Karno, bisa juga hanya sepenggal sentilan orasi ala Bung Syahrir. Walau, tetap saja dua orang yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat tersebut menunjukkan betapa dahsyatnya pengaruh facebook jika digunakan secara nalar ajar terusan budi.
Saya kenal Mbak Nadia dan "pacar terang"-nya Mbak Reny Budilestari sejak zaman Pusgiwa UI masih dihuni oleh hantu-hantu kuburan dari Kukusan, saking sepinya. Mbak Nadia adalah mahasiswi Sastra Inggris, sementara Mbak Reny adalah mahasiswi Sastra Indonesia. Saya masih magang menjadi aktivis mahasiswa baru kepada Chandra M Hamzah, mentor pertama saya, tetapi bukan di area diskusi para Ketua Senat Mahasiswa Fakultas dan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas yang menjadi "Forum Komunikasi Para Dewa" itu. Saya merasa langsung dekat dengan Pance, panggilan Chandra, karena ia diundang sebagai pembicara dalam acara Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya. Mbak Nadia adalah Sekretaris Umum KSM UI kala itu.
Satu lagi, karena Pance adalah orang Minang. Pance adalah mahasiswa senior Fakultas Hukum UI kurus kering perokok berat yang juga menjadi Komandan Resimen Mahasiswa Universitas Indonesia. Pance adalah Ketua Harian Senat Mahasiswa UI, sementara Ketua Umumnya adalah seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang juga asal minang: Firdaus Artoni. Lalu, Ketua Umum KSM UI Eka Prasetya juga seorang mahasiswi Fakultas Teknik UI yang kini sudah meraih profesor berdarah Minang: Riri Fitri Sari. Sebagai Minangitis yang datang dari kampung yang baru dialiri listrik tahun 2002, lima tahun setelah saya lulus kuliah, tentulah keberadaan aktivis-aktivis mahasiswa berdarah Minang ini bisa menyembunyikan cengkok bahasa Minang kental yang melekat di lidah saya.
Milisi Mailing List hingga Anonim
Keasyikan saya berdialektika berlanjut hingga pascamahasiswa. Bertahun-tahun saya bekerja menyusun kliping artikel-artikel di koran, lalu mencoret-coret setiap klipingan itu dengan kata-kata: "Tulisan sok tahu! Dungu nih orang! Ini baca buku dimana? Tulisan seperti ini bisa masuk koran?" -- Begitulah cara saya untuk malahirkan tulisan baru dan muncul sebagai penulis --.