Lihat ke Halaman Asli

Kompasiana, Koran Bekas, dan Media Sosial Video: Menyongsong Masa Depan Dunia Media Tulis yang Tak Pasti

Diperbarui: 8 November 2024   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.kompas.com/skola/read/2021/11/05/170000869/contoh-pemanfaatan-dari-koran-bekas 

Apakah media tulis elektronik seperti Kompasiana bisa bertahan di tengah situasi sekarang ini? Banyak pembaca mungkin merasakan hal yang sama: ada kekhawatiran bahwa platform ini akan makin tertinggal jika tidak mampu menarik generasi baru.

Siang itu, dengan terik matahari yang begitu menyengat, saya memutuskan mencoba peruntungan mencari koran bekas di Shopping Center Yogyakarta. Sudah lama rasanya tidak mampir ke sana, pusat perbelanjaan buku-buku bekas di samping Malioboro yang masih punya nuansa khas dari masa lalu. Suasana di Shopping Center selalu membawa kenangan, seperti surga bagi pencinta buku dan kolektor benda-benda langka. Siapa tahu ada satu dua kios yang masih menyimpan tumpukan koran bekas.

Setelah masuk, saya menyapa beberapa pedagang dan mulai bertanya, "Mas, di sini ada yang jual koran bekas nggak, ya?" Sang pemilik kios, yang sedang sibuk mengatur buku-buku lamanya, mengangkat kepalanya sambil tersenyum kecil. "Wah, sekarang sudah jarang banget, Mas. Koran bekas di sini hampir nggak ada, paling cuma sisa beberapa lembar buat pembungkus."

Saya pun mencoba kios lain, berharap bisa menemukan koran-koran lawas yang terkumpul di pojok toko. Seorang bapak tua di kios berikutnya malah langsung menggeleng pelan, "Mas, anak-anak muda sekarang sudah pada pegang HP. Jadi yang jualan koran pun ikut susah. Orang sudah jarang yang butuh bacaan cetak kayak dulu." Mendengar jawabannya, saya cuma bisa tertawa kecil sambil berterima kasih.

Dari satu kios ke kios lain, hasilnya sama saja. Akhirnya, saya menyerah dan memutuskan duduk sebentar di tangga Shopping Center, sekadar mengistirahatkan kaki. Sambil meneguk air mineral, saya memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan ponsel di tangan. Dulu, mereka pasti membawa koran atau majalah sebagai teman duduk, tapi sekarang layar ponsel seolah menggantikan segalanya. Di tengah keramaian yang modern, sejenak saya merasa ada yang kosong---seperti kenangan sederhana yang diam-diam hilang di telan teknologi.

Setelah lelah berburu koran bekas di Shopping Center tanpa hasil, saya pulang dengan perasaan yang campur aduk. Di rumah, tiba-tiba saya teringat Kompasiana, tempat yang dulu sering saya kunjungi bukan sebagai penulis, tapi sebagai pembaca setia. Sesekali, saya memang pernah mencoba menulis, dan beruntung beberapa tulisan saya sempat masuk headline. Kompasiana dulu seperti ruang diskusi terbuka yang ramai dengan berbagai opini, kisah, dan cerita yang hangat dari para pengguna yang saling menyapa dan berdiskusi.

Saya pun mencoba login lagi, penasaran seperti apa suasananya sekarang. Begitu masuk, saya mendapati perubahan yang cukup terasa. Halaman depannya penuh dengan iklan event, promosi workshop, dan aktivitas lainnya. Tapi anehnya, meskipun lebih ramai di bagian acara, rasanya malah lebih sepi dari segi interaksi. Tulisan-tulisan terbaru hanya diselingi sedikit komentar, tak seperti dulu ketika pembaca dan penulis saling terlibat dalam diskusi panjang.

Dulu, saya merasa seperti berada di tengah komunitas hidup yang penuh obrolan, dan tiap tulisan selalu mengundang percakapan seru. Tapi kini, Kompasiana seperti ruang yang luas namun kosong---riuh dengan promosi, tapi sunyi dari percakapan pengguna. Ada rasa yang sama seperti ketika saya mencari koran bekas di Shopping Center: ada gemerlap dan kenangan yang masih tersisa, tapi atmosfer yang dulu saya kenal perlahan memudar di balik perkembangan teknologi dan gaya hidup yang terus berubah.

Saat login ke Kompasiana dan melihat perubahan yang ada, saya teringat satu hal yang semakin jelas dalam kehidupan sehari-hari: orang kini lebih menyukai media sosial berbasis video, bahkan sering kali lebih percaya pada informasi yang mereka lihat di TikTok, Instagram, atau YouTube daripada tulisan dari sumber yang kredibel. Sepertinya ini yang menjadi salah satu penyebab kenapa Kompasiana, seperti juga media tulis lainnya, terasa lebih sepi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline