Pagi itu saya bersiap untuk bertemu dengan para guru sekolah dasar. Persiapan sudah dilakukan jauh hari sebelum hari ini datang. Membaca perkembangan kurikulum, pembelajaran, dan juga mengenai karakter yang harus dimiliki oleh seorang pendidik (guru).
Saya bertanya kepada panitia penyelenggara mengenai berapa jumlah peserta yang akan hadir? Terjawab, kurang lebih 10 orang dengan guru kelas rendah (kelas , 2, dan 3) yang akan banyak hadir. Puji syukur, hari itu cerah tidak seperti biasanya yang sejak subuh sudah mendung, dengan awan hitam yang bergelayut manja.
Tiba di lokasi acara, tempat sudah disiapkan dengan baik, sound system sudah terpasang baik dengan baterai yang sepertinya masih baru. Suasana terlihat indah ketika mata melihat dari jendela, hamparan sawah yang baru ditanami padi, angin sepoi-sepoi yang berhembus seolah siap menyambut para guru untuk bersilaturahmi dan berbagi cerita mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.
Kurang lebih menunggu selama 20 menit, para peserta hadir (karena harus masuk kelas terlebih dahulu, akhirnya terlambat hadir). Senyum bahagia, sorot mata yang penuh semangat, dan juga bahasa tubuh yang menggambarkan bahwa mereka hadir memang untuk bersilaturahmi dan mendapatkan hal baru.
Acara kemudian dibuka dengan penuh nuansa religi, karena suasana kebatinan hari itu seolah memang luar biasa. Tepat pada sesi pemaparan bahan yang sudah disiapkan, acara berlangsung begitu dinamis. Tiba saat pada pembahasan kurikulum, salah seorang peserta yaitu guru kelas 1 menyampaikan hal yang memang, mungkin dirasakan oleh semua guru SD kelas 1 yaitu mengenai pembelajaran tematik dengan bahan bacaan didalamnya yang sudah berbentuk paragraf. Masih teringat pernyataan guru tersebut yang sudah mengajar selama 2 dekade di kelas 1, yaitu;
"Kurikulum untuk kelas 1 Pak, seolah memaksa anak-anak untuk membaca paragraf yang panjang. Sementara dulu saya mengajar kelas 1 itu adalah konsep dasar membaca, menulis, dan berhitung. Kemudian ada sisipan pendidikan karakter di sana. Tapi sekarang, kenapa anak kelas 1, 2, dan kelas 3 belajarnya sudah seperti anak kelas tinggi (kelas 4, 5 dan kelas 6). Padahal nih Pak, anak-anak kelas 1 itu mengenal huruf dan angka pun kesulitan. Belum lagi mereka belum terbiasa memegang alat tulis. Jadi saya sebagai guru kelas 1, mewakili rekan-rekan juga, baiknya meninjau kembali pembelajaran di kelas 1 ini. Adapun tematik itu, bisa diterapkan di kelas tinggi." begitu menggebu beliau menyampaikan hal ini.
Akhirnya, saya sebagai orang yang lahir tahun 80an dan menikmati pembelajaran di SD dulu, memorinya langsung mengingat. Ternyata benar, kelas 1 itu adalah pondasi awal seseorang untuk belajar selama 6 tahun di sekolah dasar. Dulu, saya belajar di kelas 1 memang konsep dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung. Guru kelas 1 waktu itu pun begitu sabar mengajarkan semuanya. Mulai dari mengenal huruf, menyambungkan huruf menjadi kata, hingga akhirnya menjadi sebuah kalimat utuh. Saya masih ingat yang namanya Budi, Ani, dan juga pekerjaan orangtua mereka. Bapak Budi bekerja di kantor, ibu Ani bekerja di rumah, dan paman mereka bekerja di luar kota.
Saya pun teringat konsep pendidikan bagi seorang anak yang terdiri dari 3 periode, yaitu 7 tahun pertama, anak sebagai raja (pendidikan pra sekolah), 7 tahun kedua, anak sebagai tawanan (pendidikan dasar dan menengah), lalu 7 tahun ketiga, anak sebagai sahabat (pendidikan untuk siap bermasyarakat). Maka, jika sekolah dasar adalah pendidikan periode 7 tahun kedua, di sini kita harus memberikan dan mengenalkan konsep belajar sepanjang hayat kepada anak, yaitu dengan mengenalkan belajar asyik dan menyenangkan.
Jadi, apa yang saya rasakan dulu saat menjadi siswa kelas 1 sekolah dasar, dengan apa yang disampaikan oleh guru kelas 1 sekolah dasar di atas adalah berimbang. Bagaimana caranya mewujudkan lingkungan belajar yang nyaman dan juga kebiasaan-kebiasaan baik yang harus dilakukan selama anak-anak belajar di sekolah dasar. Pondasinya ada di kelas 1 sampai kelas 3. Karena perubahan/ transisi dari pendidikan pra sekolah (anak sebagai raja) kemudian pendidikan sekolah (anak sebagai tawanan) bukanlah hal yang mudah.
Sekarang mari bersama mewujudkan pendidikan di negeri ini agar sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H