Lihat ke Halaman Asli

“Prihatin” dan Permainan Bahasa dalam Politik

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Baru-baru ini dunia diguncangkan dengan aksi pendudukan oleh “Tentara yang tak dikenal” diujung negara Ukraina yaitu Crimea. Crimea adalah daerah yang sebagian warganya beretnis Rusia. Singkat cerita, Rusia yang memiliki kepentingan dalam konflik internal Ukraina berinisiatif untuk menjaga para penduduk di Crimea yang beretnis Rusia. Banyak kalangan menilai bahwa tindakan penyelamatan Rusia kepada etnis Rusia di Crimea hanyalah trik semata, apa yang Rusia inginkan tentunya lebih dari itu; mengkontrol penuh kembali Ukraina.

Amerika Serikat yang berang dengan pendudukan Rusia tersebut menyatakan “prihatin” atas tindakan Rusia yang dikalim sebagai pelanggaran kedaulatan Ukraina. Nampaknya banyak kalangan termasuk saya sudah terlalu bosan dengan kata “prihatin” yang sering muncul diberbagai media masa. Atau mungkin saja anda juga sering mendengar Pak Presiden kita SBY yang kalau dia dizalimi atau ada musibah tertentu di Indonesia pasti bilang “saya prihatin”. Sebenarnya setelah saya teliti-teliti (penelitian sendiri yang tak wajib orang amini :D), kata prihatin itu tak memiliki makna yang signifikan dan berarti lebih, atau anda bisa bilang ini hanyalah kata basa-basi saja. Kata prihatin sebenarnya adalah kata yang “no stance” menurut saya, tak ada pendirian. Dia hanya menyesalkan namun tak tahu mau bertindak apa, makanya ya Cuma bisa “prihatin”. Kata prihatin tak memiliki unsur mendukung atau menolak, dia hanya menyatakan suatu kejadian itu amat disayangkan namun dia berusaha menahan diri untuk bertindak sesuatu. Lain halnya mungkin ketika anda berkata "mengecam", "mengutuk", "Mendukung" dan lain-lain yang notabene kata-katanya mudah diterka apa isinya.

Dan bila anda perhatikan, ternyata kebanyakan kata prihatin itu selalu berkaitan dengan orang yang terjun dipolitik. Sebenarnya kata prihatin juga bisa digunakan dalam konteks interaksi sosial (belasungkawa, simpatik dll) namun dalam dunia politik, kata prihatin menjadi kata yang paling ampuh sebagai alat “lempar handuk”. Ya begitulah politik, politic is not only the game of persuation, it’s also the game of language!

Ketika demokrasi diinjak-injak di Mesir, sang presiden yang sah Muhammad Morsi dilengserkan dengan kudeta militer, Obama hanya mengatakan “prihatin”, dan ia terkesan tutup telinga dengan ratusan nyawa melayang di Adawea. Israel membabi buta membunuh warga Palestina, sang sekjen PBB Ban-Ki-Moon hanya menyatakan “keprihatinan yang mendalam”. Dan setelah itu, semuanya berlangsung normal dan seperti tak terjadi apa-apa. Ya, itulah kuatnya pengaruh kata prihatin bagi dunia politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline