Lihat ke Halaman Asli

Memahami Al Qur'an Tidak Cukup Dari "Kata Ustadz"

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Para ustadz karbitan bin ngartis umumnya membaca dan mempelajari al Qur’an Cuma mengandalkan terjemahan versi Departemen Agama maupun buku-buku terjemahan. Sangat jarang dari mereka yang mempelajari ‘ulumul Qur’an secara utuh. Ilmu-ilmu ‘alat’ untuk memperdalam al Qur’an (‘ulumul Qur’an) yang wajib dikuasai setidaknya untuk level dasar meliputi Nahwiyah Tasrifiyyah (nahwu dan sharaf), Ilmu Mantiq, ilmu Balaghah, Teknik Ma’anil Mufrodat, Nasikh wal Mansukh, Asbabun Nuzul, dan tentu saja pengetahuan dasar-dasar Qiro’ah Sab’ah. Bahkan seorang yang menafsirkan al Qur’an lebih jauh lagi harus lebih berani mempelajari berbagai pengetahuan seperti Astronomi, Biologi, Matematika, Kimia, Filsafat, Metodologi Penelitian, Fisika Dasar Klasik, Fisika Modern, Fisika Kuantum, hingga Fisika Superstring, belum lagi Ilmu Budaya, Politik, Ekonomi Mikro dan Makro, Sosiologi, Athropologi, Sejarah (termasuk sejarah peradaban), bahkan sampai Ikonografi- Kriptografi musti tahu karena banyak symbol-simbol agama dan kepercayaan tersaji dalam berbagai kode yang semuanya memiliki latar belakang pemahaman dan sejarah yang sangat mendalam. Dengan demikian memahami al Qur’an memerlukan proses saling mengisi dan saling bertanya serta saling meneliti dari berbagai perspektif secara team work.

Bahkan ‘ulumul hadits pun cukup luas untuk dikaji dalam rangka membaca arah dan tujuan dari berbagai redaksi as Sunnah ataupun hadits yang banyak beredar di masyarakat luas. ‘Ulumul hadits meliputi disamping ‘ulumul Qur’an semacam Nahwu & sharaf, juga Asbabul Wurudj, pengetahuan dasar Kutubut Tis’ah, Pengetahuan Dasar tentang Derajat Hadits dan aplikasinya, Teknik pelacakan rawi, Silsilatul Madkhal, serta ilmu pengatahuan umum seperti Astronomi, Biologi, Fisika, dan yang disebutkan misalnya diatas.

Masalahnya adalah banyak yang belum tuntas belajar ilmu dasar ‘ulumul Qur’an tapi sudah berani mengklaim merasa paling mengerti dan menguasai isi al Qur’an, sehingga terjadilah berbagai keributan yang bersifat meresahkan juga membuang waktu dan tenaga.

Ada memang diantara mereka yang belajar ilmu Nahwu sebatas buku tipis al Muyasar jilid I maupun Amtsilah Tasrifiyyah sampai bab Wazan Lafif pola mafruk, dan selanjutnya malas belajar, langsung disibukan oleh jadual manggung alias proyek ngartis. Celakanya banyak dari omongan mereka ini yang dijadikan semacam fatwa oleh kalangan masyarakat awam kelas gang senggol, pasar teri, atau kompleks rusunami, dan yang cukup beruntung bisa jadi kendaraan politik atau nyaleg. Ketika sudah malas belajar dan berhenti berpikir disitulah benih-benih ke-jumudan (berpikir beku) akan muncul. Tidak sedikit Ustadz saat ini mulai menjadi symbol kemalasan berpikir, arogansi, biang keributan yang nggak jelas, ashobiyyah, bahkan symbol anarkisme.

Terjemahan tentu saja berbeda dengan naskah redaksi al Qur’an yang asli, meskipun bagi sebagian kalangan berpendapat cukup mendekati, akan tetapi terjemahan al Qur’an sudah pasti bersifat dinamis dimana setiap waktu dan situasi akan mengalami perubahan sejalah dengan berbagai dinamika yang terjadi. Saya sih menyarankan agar Depag menerbitkan Terjemahan al Qur’an versi yang lebih baru.

Saya sih bukan mengajak berpikir rumit dalam hal ini, hanya saja perlu didudukkan kembali bahwasanya dalam Islam tidak mengenal yang namanya “Orang Suci (Holly Man)” yaitu orang yang dianggap paling mengetahui berbagai pesan dalam al Qur’an, dalam hal ini seringkali disandarkan kepada yang difigurkan dengan ‘ulama, ustadz, habib, dan sebangsanya. Bahkan sangat bisa jadi berbagai penyesatan bisa dimulai dari adanya monopoli klaim pengetahuan agama, dalam hal ini al Qur’an. Sudah waktunya ‘ulama dan ilmuwan bekerja sama menafsirkan al Qur’an, dimana kalau meminjam istilah Mohammad Natsir yaitu “mempertemukan timur dengan barat”.

Al Qur’an sendiri mengingatkan (setelah sumpah dengan kata “Demi Waktu” yang diikuti dengan statement tentang segolongan manusia yang diduga mayoritas yang senantiasa dalam keadaan rugi/menyia-nyiakan waktu), bahwa proses dalam membangun peradaban adalah menggunakan prinsip “Tawaa shoubil Haq, wa tawaa shoubish Shabr” yang kalau diterjemahkan adalah saling tawasul (saling menasehati/ mewariskan/berbagi/sharing) secara aktif dalam ke-obyektifitasan (al Haq) dan karena hal ini sangat berat dan memerlukan ketekunan maka harus pula saling sharing dalam kesabaran, pantang mundur, serta tidak ada yang merasa paling pintar alias tidak ada saling menggurui.

#wilujeng wayah kieu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline