Lihat ke Halaman Asli

Lebaranku Tanpa Seorang Ibu

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari lebaran tiba, hari ini tepat pada tanggal 30 Sept. 2011. Masih teringat dengan jelas, seorang ustadz dalam ceramahnya bahwa orang pertama yang dianjurkan disalami untuk pertama kalinya adalah Ibu. Namun, karena selama ini (19 tahun) saya tinggal bersama kakek dan nenek ku, maka jabatan tangan pertama itu untuk nenek ku tersayang.
Layaknya tradisi lebaran sebelumnya kegiatan rutin khas lebaran, sungkeman ke semua keluarga ditunaikan, juga makan bersama dengan hidangan beragam kue yang juga sempat saya buat bersama nenek. Beberapa saat kemudian, satu persatu keluarga mulai berdatangan. Inilah salah satu momen paling melelahkan, karena harus melayani puluhan orang yang biasanya ribut karena anak mereka masing-masing. Tapi, bagaimanapun semua ini berkah Ramdhan yang harus disyukuri.

Masih terdengar irama musik yang bernada syalawat di masjid tempat melangsungkan Shalat Ied tadi. Saya berjalan keluar rumah bermaksud menenangkan diri sejenak dari keriuhan keluarga yang tengah berkumpul.

Di kursi plastik berwarna putih di teras rumah, duduk seorang anak. Saya mengenalnya, dia Irman. Kaki kanannya tampak mengayun-ayun santai, sedang kaki kirinya dilipat di depan dadanya, menopang dagu kecilnya. Kusamperi anak yang terkenal nakal dan ulah jahilnya. Tampaknya ia tidak sepihak dengan permainan rekan-rekannya di halaman rumah yang sedang riang bermain. Tidak biasanya pikirku.

Kuambil kursi dan duduk di sebelahnya, Ia tampak terganggu.
"Gak main Irman?" tanyaku sambil memegang gagang kursinya.
"Gak kak" dari nada suaranya anak ini benar-benar tidak seperti biasanya, sendu banget. Padahal, 'liarnya' anak ini saya masih ingat betul, waktu itu sempat Ia meninju pelipis saya lalu berlari kabur setelahnya. Biarlah, toh sudah berlalu.

"Mana Mama'?" tanyaku singkat sambil melihatnya menurunkan kaki kirinya dan mengayunka keduanya seirama.
"Gak ada" jawabnya singkat dan sendu.
"Kenapa gak ikut?" tanyaku lagi.
"Gak ada mama' " jawabnya lalu menundukkan kepala. Khas loga bugisnya masih kental, mungkin bawaan karena Ia juga cukup lama tinggal di Sulawesi.
"Lohh, kemana?" dengan santai saya kembali bertanya.
"Pergi" Ia menjawab singkat dan lepas. Sepertinya pertanyaan saya sudah membuatnya benar-benar risih, sehingga Ia pergi meninggalkanku.

Tidak seperti biasanya, pikirku. Irman terus pergi sambil menundukkan kepalanya, terus hingga jauh.

Sesaat kemudian datang seorang sepupuku yang sebaya usinya dengan Irman. Ia bertanya, "kak, Irman kok nangis?"
hahhh, saya hanya menunjukkan raut wajah gak jelas karena juga kebingungan. Adakah dari yang 'singkat' tadi menyinggung perasaan anak kecil itu, dalam hati kubergumam.

*

Juli 2011.

Om Haris sekeluarga mewujudkan keinginannya untuk pergi berlebaran di kota kelahirannya kota Pinrang, Sulawesi Selatan. Istrinya seorang keturunan Lombok, NTB yang dinikahinya 11 tahun lalu menganugerahi suaminya 2 orang putra, Irman dan Dirman (bungsu).

Mereka pergi dengan keterbatasan uang yang dimiliki menggunakan kapal laut. Ya, ekonomi keluarga yang bertopang pada hasil karet membuat mereka duduk di lesehan lantai kapal kelas ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline