Lihat ke Halaman Asli

Kue Keranjang Tidak Enak! Tapi…(fakta)

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12969375981040999562

[caption id="attachment_87584" align="alignright" width="320" caption="Kue Keranjang (google.com)"][/caption] Jangan terprovokasi dengan judul, walaupun itu yang memang saya rasakan saat pertama kali mencoba nikmatnya kue kerangjnag khas imlek. Beberapa hari lalu (04/01/11) saya diundang dalam rapat evaluasi di kantor. Kali ini di rumah ssalah satu manager di Yogyakarta. Kebetulan orangnya nasrani namun bukan dari kalangan Tionghoa, singkatnya mereka tidak merayakan imlek. Setelah duduk di sofa saya melihat ada 2 susun kue keranjang yang diletakkan begitu saja. Lau saya menyapa Mas Heri yang sedang duduk di depan layar laptop mengerjakan tugas kantornya mungkin. Saya tanya ke beliau " Mas kue keranjangnya gak dimakan" gombalku. Mas Heri menjawab " Ohhh, itu tadi dikasih sama teman, dimakan aja". Wah kebetulan nih, saya juga belum pernah merasakan bagaimana rasanya kue keranjang itu. Warnanya merah sepeti gula jawa, dibungkus plastik, dengan bentuk kepingan lengkap dengan hiasan-hiasan khas imlek. Karena rapat segera dimulai, saya pending dulu untuk menyantap kue imlek itu. Banyak hal yang dibahas hingga akhirnya sampai pada penghujung acara. Setelah itu, saya buka lagi dialog dengan Mas Heri, kali ini ditemani oleh Mbak Dhian istri beliau. " Mas, kue keranjangnya tadi mana ya?" tanyaku. " Ouh, itu diambil aja di atas meja" jawab Mas Heri. Lalu seketika Mbak Dhian menyahut " Lohhh, gak digoreng dulu apa?". Saya terheran, apa benar harus digoreng?. Bentuk dan teksturnya hampir serupa dengan dodol atau jenang. Hanya saja ini tidak seliat dodol ata jenang. Lalu dari salah seorang rekan kerja memberitahu bahwa ada  beberapa metode untuk menyajikannya. Bisa langsung dimakan, juga bisa dengan menggorennya terlebih dahulu bahkan ada yang dengan menggunakan telur. Setelah mencoba bagaimana rasanya, kesan pertama yang muncul adalah gak enak. Benar-benar tidak ada rasa istimewa seperti yang saya bayangkan selama ini. Namanya juga bayangan yang ada pasti bawaanya enak melulu. Tapi setelah saya tanyakan pada Mbak Dhian yang ahli di bidang masak memasak, walau profesinya sebagai dosen. Ternyata, yang membuat rasa kue keranjang ini berbeda dengan jenang adalah pada komposisinya. Dibuat dengan bahan dasar yang sama terdiri dari tepung beras ketan dan gula. Namun bedanya dengan jenang memakai santan kental dan gula yang banyak, makanya kue keranjang nggak begitu enak cita rasanya. Sepeti yang saya katakan tadi, agar lebih nafsu makannya, kue keranjang digoreng terlebih dahulu dengan tepung terigu yang dicampur telur ayam. Teksturnya akan berubah jadi lembek, maka dimakannya selagi panas supaya tidak keras. ] Kue keranjang disebut juga sebagai Nian Gao  atau dalam dialek Hokkian Tii Kwee , yang mendapat nama dari wadah cetaknya yang berbentuk keranjang, adalah kue yang terbuat dari tepung ketan dan gula , serta mempunyai tekstur yang kenyal dan lengket . Kue ini merupakan salah satu kue khas atau wajib perayaan tahun baru Imlek, walaupun tidak di Beijing pada suatu saat [8]. Kue keranjang ini mulai dipergunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur, enam hari menjelang tahun baru Imlek (Jie Sie Siang Ang), dan puncaknya pada malam menjelang tahun baru Imlek. Sebagai sesaji, kue ini biasanya tidak dimakan sampai Cap Go Meh (malam ke-15 setelah Imlek). Pada awalnya kue ini ditujukan sebagai hidangan untuk menyenangkan dewa Tungku agar membawa laporan yang menyenangkan kepada raja Surga (Yu Huang Da Di). Selain itu, bentuknya yang bulat bermakna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang (sumber). Itulah salah satu bentuk kekayaan budaya Indonesia yang selalu dibanggakan dan dijadikan icon pariwisata. Merangkap menjadi cikal bakal persatuan NKRI dalam saling menghargai budaya  masing-masing daera, suku, ras dan agama. Walau rasa tidak begitu enak, tapi karena balutan tradisi turun temurun menjadikannya tetap bisa dinikmati oleh kalangan luas walaupun non Tionghoa. Seperti yang diutarakan Yu Ie, seorang pengurus Vihara Petak Sembilan, menuturkan, kue keranjang atau nian gao menjadi makanan wajib Imlek. Kue ini mendapat nama dari cetakannya yang terbuat dari keranjang. Nian sendiri berarti tahun dan gao berarti kue yang juga terdengar seperti kata tinggi. Oleh karena itu, kue keranjang sering disusun tinggi atau bertingkat. Makin ke atas, makin mengecil kue itu, memberikan makna peningkatan dalam hal rezeki atau kemakmuran. Pada zaman dahulu, banyaknya atau tingginya kue keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah. "Kue keranjang itu artinya agar tiap tahun mencapai prestasi yang bertambah tinggi, setiap tahun ada peningkatan. Ini biasanya bagi mereka yang memiliki bisnis," tuturnya, Jakarta, Rabu (10/2/2010)-Kompas.com. Mempertahankan sebuah tradisi sehingga terkadang harus merelakan prioritas lain juga dirasakan oleh kalangan tertentu yakni pembuatnya. Seperti yang dilakukan dialami keluarga Ong Eng Hwat, yang merupakan keturunan ke 3 pembuat kue ranjang di keluarga besarnya. Kini dia meneruskan tradisi membuat kue ranjang di dalam keluarga besarnya sendiri. Dibantu istri, seorang anaknya, dan lima pekerja, dia meneruskan tradisi itu. Ong Eng memiliki makna sendiri dalam membuat kue ini. "Menurun sih iya tapi masih bisa dipertahankan, karena niat kita memang menjaga tradisi jadi pasti ada sesuatu yang baik muncul. Sehingga apa yang keluarga saya lakukan ini selalu ada unsur kebaikan. Mungkin bukan untuk saya atau keluarga tapi untuk orang lain," ungkapnya. Ong percaya arti Thi kue atau kue manis, yang bila diterjemahkan dalam sebuah kehidupan memiliki arti yakni berharap agar tahun baru ini akan mendapatkan kehidupan yang lebih manis (baik)-kompas.com. Demikianlah arti pentingnya sebuah tradisi. Mempertahankan ciri khas budaya tertentu relatif lebih susah, terlebih dengan begitu cepatnya era globalisasi menjajah. Budaya hidup instan membuat manusia cenderung lebih mudah meninggalkan bahkan sengaja melupakan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya. Enak atau tidak enanknya rasa kue keranjang, tapi dibalik semua itu tersimpan sebauh makna lain yang lebih berharga akan pentingnya sebuah tradisi. Sebagai penutup, mungkin lebih lengkap lagi terasa jika saya berikan menu ala Kue Keranjang Khas Tionghoa ini,

Bahan : - Gula palem/gula merah 150 gram - - Air 470 ml - - Santan 2 sdm - - Air jahe 1 sdm - - Tepung beras ketan 300 gram - - Tepung teng mien 75 gram - Cara membuat : 1. Rebus gula palem dan air lalu saring dan dinginkan. Tambahkan santan dan air jahe. 2. Campur tepung beras ketan dan tang mien dalam mangkuk, buat lubang di tengahnya, tuang larutan gula ini ke dalamnya lalu aduk dengan whisk hingga lembut (tidak bergerindil) lalu saring. 3. Tuang adonan ke dalam cetakan bulat yang dioles minyak sayur lalu tutup dengan aluminium foil dan kukus selama 45-60 menit. Angkat. 4. Diamkan beberapa hari baru disajikan. Resep by: resepmasakanlengkap

Terimakasih, semoga bermanfaat!

------------------0O0------------------




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline