Lihat ke Halaman Asli

60+ Detik Doaku pada Tuhan [Refleksi 60+ Earth Hour]

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

130120622045211876

[caption id="attachment_97127" align="aligncenter" width="460" caption="Ilustrasi by http://matanews.com"][/caption]

"Emak... Awang pulang" teriak Awang saat membuka sepatunya di depan pintu rumah.

"Ya sudah masuk, jangan lupa buka bajunya langsung mandi terus shalat!"teriak ibunya di dapur.

Setiap harinya Awang harus pulang hingga sore hari, kadang hingga pukul lima. Maklum tempat Ia menuntut ilmu sangat jauh. Sekitar 15 KM Ia harus berjalan kaki melintasi bukit pegunungan dan sawah. Belum lagi pendakian yang meletihkan dan terkadang membuatnya harus berganti baju di sekolah karena berkeringat. Terkadang ada orang yang berbaik hati mengantarkannya ke sekolah.

Bersama keluarga Ia tinggal di desa Putih Bunga di pedalaman Kalimantan Timur. Ibu dan ayahnya hanyalah petani karet. Dari hasil kerja keras orang tuanya itu Ia bisa terus menimba ilmu di sekolah. Kakaknya adalah buruh lepas di perusahaan batu bara yang terus mengeruk kekayaan bumi pulau Borneo.

"Allahuakbar....Allahuakbar..." terdengar kumandanga Adzan dari surau. Segera bergegas Awang bersipa menunaikan shalatnya. Sudah menjadi kebiasaan yang ditanamkan padanya agar selalu dekat dengan Tuhan. Namun, kali ini tidak seperti biasanya setelah shalat Ia duduk lebih lama di atas sajadah usangnya.

Tampak Ia menengadahkan kedua tangannya lalu memanjatkan doa. Terdengar samar dengan suaranya yang peruh, tapi tergambar jelas sebuah ketulusan curahan hati kecilnya.

"Ya Allah...

Ibu guruku menuliskan Earth Hour 60+ di papan tulis. Aku tidak mengerti apa artinya. Tapi ibu guru hanya bilang kalau kami harus mematikan lampu 1 jam. Aku tidak diberi tahu gunanya.

Tapi Ya Allah... Bagaimana mungkin kami mematikan lampu? sedangkan kami tak punya listrik. Sejak akuterbangun tidak pernah sekalipun aku melihat sinar lampu menyilaukan mata.

Kami tidak pernah tahu besar watt lampu, yang kami tahu hanya batang lilin. Kami tidak pernah mengatakan bohlam lampu pecah atau putus, yang kami tahu hanya lilinnya sudah habis. Kami tidak pernah mengenal korsleting listrik, yang kami tahu hanya kebakaran karena lilin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline