Semalam saya berkeliling Jogja ditemani rekan sekampus. Awalnya ingin melihat bagaimana keindahan Jogja yang sudah lama tidak ter-update, tapi ternyata ada pengalaman baru yang saya kira menarik untuk diambil sisi lainnya. Rencana awal menuju pasar Klitikan, tempat dimana segala macam barang bekas ada disini. Sebenarnya bukan hanya barang bekas, karena ada banyak barang baru juga yang diperjualbelikan. Tapi sepanjang jalan menuju Klitikan terlihat begitu ramai di perempatan nol kilometer. Ternyata itu karena pasar malam yang kata teman saya itu namanya Pasar Sekaten. Bukan Jogja bila malam di perempatan 0 KM ini tidak ramai. Di dua tempat itulah saya ingin menceritakan sedikit sisi lain dari romansa kehidupan Jogja. Setibanya di Klitikan, ramainya motor membuat rekan saya bingung mau parkir dimana. Akhirnya taruh saja di jalan masuk, yang penting tidak dikunci stang. Biasanya tukang parkir yang akan memarkir motor. Biaya parkir di sini hanya Rp. 1.000,- untuk 2 jam pertama, selebihnya dikenakan biaya tambahan 50% per jamnya. Untuk tarif mobil sendiri tidak ada karena parkiran dalam hanya untuk motor, sedangkan mobil bisa diparkir di sisi jalan. Tapi menurut saya, sangat jarang pengguna mobil yang mau ke pasar Klitikan. Hehehe tahu sendirilah apa alasannya, kasta berbeda itulah kasarannya. Sepulangnya, saya masih mengapresiasi tukang parkir yang benar-benar konsisten dengan tarif. Bisanya dan juga pada umumnya tukang parkir ada yang iseng nggak mengembalikan kembalian uang parkir. Parkir hanya sekitar 5 menit bayarnya Rp 1.000 padahal seharusnya Rp 500,-, atau Rp 1.000,- bayarnya Rp 2.000,-. Sebenarnya ada keinginan juga untuk protes langsung tapi masalah sepele seperti itu cerminan "kurang kerjaan" menurut saya. Lebih baik ditulis dan dimabil hikmahnya, bahwa itu memang sisi lain dari keistimewaan Jogja. Itu untuk yang di pasar Klitikan. Sekarang tiba di perempatan 0 KM, awalnya bingung mencari lahan parkir yang masih kosong. Akhirnya diputuskan untuk memarkir motor tepat di depan Kantor Pos. Uang parkir kali ini rekan saya yang rela membayarkannya. Maklum dia baru saja gajian. Setelah itu dimulailah perjalanan meyusuri ramainya pasar Sekaten. Sambil berjalan, Dedi (rekan saya tadi) memperlihatkan karcis parkir yang menurutnya mengejutkan. Bagaimana tidak? Tarif parkit untuk motor sudah mencapai Rp 3.000,- sedangkan mobil Rp 5.000,-. Saya juga terkaget ria, karena baru kemarin saja saya menuliskan kisah perjalana saya dengan cetrita yang sama Job Unik, dengan Penghasilan 45juta/bulan, tarif parkir masih senilai Rp 2.000,-. Perlu dikethui bahwa dalam tulisan itu ada sedikit analisa perhitungan terhdap keuntungan yang dapat diraih dari profesi tukang parkir. Untuk parkir senilai Rp. 2000,- dalam sebulan pendapatan bisa mencapai Rp 45.000.000,-. Sekarang kalau mau dibandingkan dengan tarif Rp 3.000,- sudah barang tentu melebihi perhitungan tadi. Belum hanya sampai di situ, ada satu hal lagi yang "ganjil" menurut saya. Bila seharusnya ongkos parkir dibayar saat hendak keluar, maka tidak untuk di sini. Pembayaran harus dilakukan sesaat setelah motor diparkirkan. Bukankah hukum alamiah terbalik dengan realitanya. Seharusnya ongkos jasa dibayarkan setelah jasa digunakan atau dinikmati? Lalu sejauh mana tanggung jawab tukang parkir? Ongkos sudah dibayar tapi keamanan belum dikethui akhirnya. Suatu kali saya sempat memiliki pengalaman di lokasi yang sama. Pada saat itu ongkos parkir diminta untuk dibayar di awal. Setelah puas dan ingin pulang ternyata tukang parkirnya menghilang entah kemana. Kalau seperti itu, kepada siapa potongan karcisnya dipertanggungjawabkan? Bila saja terjadi sesuatu dengan motor, siapa yang hendak menjadi tempat pengaduan? Sedangkan dalam karcis sendiri tidak ada informasi yang jelas mengenai instansi penyelenggara atau penanggung jawab. Lebih menggelitik lagi, di dalam karcis hanya tertulis "segala kehilangan/kerusakan atas kendaraan yang diparkir berikut barang-barang di dalamnya dalah resiko permarkir sendiri". Nah Lho, lalu siapa dong yang bertanggung jawab. Pembayaran tadi senilai Rp 3.000,- digunakan untuk apa? kalau hanya sebatas retribusi, masa iya tidak ada timbal baliknya dengan pengguna jasa? Meninjau kepada aspek hukum PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 19 TAHUN 2002TENTANG RETRIBUSI PARKIR DI TEPI JALAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA. Di dalam pasal 8 Bab VI tentang Struktur dan Besaran Tarif retribusi, dijelaskan bahwa tarif parkir maksimum hanya Rp 500,-, itupun sudah termasuk dalam kawasan khusus dengan biaya retribusi tertinggi. Kalau dibandingkan dengan tarif sekarang maka kenaikannya mencapai 600%. Tapi di dalam peraturan tersebut hanya dibahas mengenai objek parkir dan aspek hukumnya, sedangkan untuk pemungut retribusi belum dibahas. Sebuah sisi lain dibalik keistimewaan Yogyakarta. Bagaimana mungkin hanya ingin minum kopi di tepi jalan, tarif parkir tidak sebanding dengan tarif ngopi (minum kopi). Bahkan sempat rekan saya mengatakan bahwa "Biaya hidup memang murah di Jogja, tapi tidak dengan biaya parkir". Fenomena kehadiran kendaraan bermotor yang meningkat semakin tahun membuat lahan parkir untuk sesaat saja memberhentikan motor mengharuskan kita berbayar. Bukannya hanya untuk di tepi jalan umum saja. Bahkan dari sektor akademik saja sudah dimulai dan dilaksanakan pemungutan retribusi parkir. Salah satu contohnya Universitas Gajah Mada (UGM) yang diplesirkan oleh Anggun Gunawan dalam Ugm: University Get Money . Bila Anda sempat memarkirkan motor di UGM maka sediakan Rp. 1.000,- untuk sepeda motor dan rp. 2.000,- untuk mobil, karena Anda tidak memiliki KIK (Kartu Identitas Kendaraan). Maka dari itu, bagi Anda yang ingin kesulitan mencari ide untuk menjadi seorang Entrepreneur maka lahan parkir mungkin bisa menjadi alternatif. Keuntungannya sudah tidak diragukan lagi. Di lain hal, saya juga mengharapkan perhatian pemerintah terhadap retribusi parkir yang "meliar" seperti ini. Jogja Berhati Nyaman, harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat termasuk pengguna jasa parkir. Mungkin ada banyak yang merasakan sama dengan saya, tapi hanya sebatas pemikiran saja. Walau seperti itu, saya bangga dengan Yogyakarta tempatku mengadu nasib dan mencoba peruntungan. Segala hormat bagimu dari mahasiswa asal KALTIM. Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H