Lihat ke Halaman Asli

Karena Cubitan Nenek-ku, Saya Sukses

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang mahasiswa yang merantau dan tak banyak memiliki harta benda yang dapt dipertaruhkan di kemudia hari. Saya ibarat sebuah paket yang dikirimkan oleh orang tua saya di kota ini. Berkelana dengan segala harapan dan tujuan yang diamanahkan oleh mereka. Mereka bukan inspirasi saya, bahkan saya tidak mengidolakan mereka. Saya bukan type orang yang puitis, tapi saya realistis. Selagi dia adalah manusia, maka mereka bukan idola saya. Tapi herannya mengapa saya masih didikte oleh mereka berdua. Bukankah saya yang menjalani hidup ini? Mereka adalah orang yang galak, bahkan semasa saya kecil saya tidak pernah merasakan keistimewaan. Saya tak lebh hanya seorang cucu yang dibesarkan dengan paksaan, dengan kekangan. Tidak pernah saya merasakan indahnya kebebasan. Bermain bersama teman tetangga saya. Hanya sekolah tempat saya bermain dengan mereka. Bahkan kakek-nenek saya hanya tahu bahwa saya disekolah saya belajar dan belajar. Mereka tidak akan tahu saya bermain apa dan dengan siapa.

Keluarga dekat-pun sangat takut dengan saya. Tidak berani karena saya selalu diawasi untuk tidak bermain. Apa salahnya sih jika saya bermain layaknya anak yang lain. Toh saya juga tidak bodoh bila hanya bermain sekali saja di luar sekolah. Saya hanya minta bermain wayang, bermain kelereng, dan bermain layangan tidak berbahaya bukan? Mengapa saya hanya tahu besaran dan luasan seisi rumah. Menyapu, menyuci piring, membuat minuman hangat, memasak nasi hingga sayur itulah didikan mereka. Saya ini lelaki tulen nek. Rasa kesal saya memang berlebih pada nenek saya. Beliau jauh lebih kejam dibandingkan dengan kakek saya. Kakek saya adalah kakek tiri. Beliau sangat baik, tidak pernah memaksa, selalu membela dikala saya sedang disiksa oleh istrinya. Ketika saya sedang dimarahi, beliau bertindak mengambil saya untuk dibawa ke tempat dimana saja yang membuat saya tenang dan jauh dari nenek. Tidak sampai di situ saja. Sepulangnya, saya kerap tidak ditegur untuk beberapa hari. Apakah pantas saya diperlakukan seperti itu?

Jika saya membandingkan dengan teman-teman yang lain, maka saya adalah yang paling aneh. Mulai dari kebiasaan, tingkah laku, pergaulan dan lain sebagainya. Mainan yang dibelikan tidak pernah jauh berupa boneka, peralatan masak-masakan, hingga bajua-bajuan. Tentu tumbuh kembang saya berbeda dengan mereka-mereka yang di luar rumah saya. Tidak ada satupun mainan saya rusak atau hilang. Karena saya hanya sempat memainkannya seminggu sekali bahkan hanya menjadi pajangan. Saya sudah dituntut untuk bisa bekerja, membantu mencari nafkah. Sejak usia 2 tahun saya sudah dibesarkan, diakrabkan dengan dunia perkebunan. Khususnya pertanian karet yang terkenal di kalimantan timur. Saya tidur dibawah naungan rimbunnya daun karet berselimut jaket beralaskan tikar. Tak lupa saya dilindungi oleh kelambu yang dibawanya dari rumah. Ketika bangun saya hanya bisa beteriak kepada diantara mereka berdua, “ Indo, saya sudah bangun!” atau “ Bapak, saya kencing!”. Indo’, adalah panggilan saya untuk nenek, dan Bapak adalah panggilan untuk kakek. Entah sejarahnya saya tidak pernah bertanya. Saya takut mereka tersinggung. Setelah cukup terang dari gelapnya subuh, sebuah ember saya bawa ikut bersama dengan Bapak, mengekor dibelakangnya. Ketika ada batang kayu besar melintang, diraihnya tangan saya agar bisa melompat. Ember tadi saya pergunakan untuk menampung satu demi satu bongkahan karet yang telah mengeras yang dikenal dengan nama LEM. Bila sudah penuh, saya mengumpulkannya pada lubang yang telah dibuat oleh Bapak. Terkadang juga yang masih cair saya kumpulkan untuk langsung ditimbang beratnya kepada tengkulak. Hasilnya diperguanakan untuk keperluan kami bertiga. Lebih dari cukup hasilnya. Bahkan pendapatan kami rata-rata sangat melebihi tetangga-tetangga kami. Saya tidak pernah merasakan nikmatnya malam minggu dan hari libur. Semua karena aktivitas menyadap itu.

Berangkat ke sekolah, saya sudah mandiri. Tidak perlu diantar atau bahkan baju disetrikakan olehnya. Karena memang kami tidak memiliki setrika.Baju saya rapi karena lipatannya. Namun, yang terpenting buat saya adalah baju selalu dimasukkan dengan dasi merah yang menyekak ke leher. Itulah doktrin nenek saya yang sampai sekarang menjadi kebiasaaan saya. Membawa buku dengan peralatan lengkap hingga tidak boleh kembali lagi ke rumah bila terlupa sesuatu. Walaupun terkadang saya sering kembali ke rumah untuk waktu tertentu. Sesampainya di sekolah, saya tidak bisa berbuat banyak. Teman-teman, guru, staff bahkan ibu kantin pun sudah tahu karakter orang tua saya. Nakal dan jahil adalah pantangan buat saya. Tidak pernah terlibat dalam perkelahian, karena budaya mengalah yang selalu diajarkan. Sepulang sekolah, yang beliau tahu bahwa saya tidak boleh mendapat nilai dibawah 80. Bila sampai pada angka 60, ucapan selamat yang diberikan adalah mencubit salah satu paha saya. Rasa sakit dan menangis karena itu, saya pasti belajar setiap subuh. Setelah makan, mengaji adalah hal rutin. Bila sampai saya mengucapkan kata malas, maka sapu lidi sudah siap menghujam punggungku. Seorang bapak (kakek), menjadi pahlawan kala itu. Terkadang mereka bertengkar karena saya. Tidak bertegur sapa sampai beberapa hari, dan saya hanya bisa berdiam.

Sempat saya mencoba untuk bangkit dengan kenekadan. Merubah angka nilai di buku, ketika itu 60 tertulis dalam lembaran buku matematika. Bermaksud merubahnya dengan angkan yang lebihbaik yakni 80. Namun, bodohnya saya nekad mengganti tinta merah dengan tinta hitam. Alhasil paha saya menjadi sasaran, dan itu tak ernah terulang lagi. Satu hal lagi, ketika saya mencoba peruntungan dengan membeli makanan yang berhadiah beberapa benda seperti Jam, makanan bahkan pakaian. Ketika itu saya kaget dengan mendapat kalimat “ Coba lagi “. Lugu dan pertama kali membeli, saya terus menikmatinya hingga saya ditegur oleh penjualnya yakni Ibu Iwan. Sepulangnya, saya dengan sikap serba ragu dan tak bermaksud untuk menceritakannya dengan Indo dan bapak. Berhutang adalah solusi yang terpikirkan. Namun, ntah mengapa semua berjalan dengan singkat dan Indo tahu itu semua. Kembali paha saya biru karena cubitan.

Perintah demi perintah saya lakukan dengan hati-hati untuk kemungkinan salah sekecil apapun itu. Semua demi menghindari cubitan ke paha saya. Pada waktu itu, ketika menjelang hari lebaran. Indo’ adalah ahlinya dalam membuat kue, bahkan sampai saat inipun saya masih ingat betul dengan resep-resepnya. Saya diperintahkan untuk membeli 10 buah telur. Dengan mengayuh sepeda saya, perjalanan begitu singkat. Namun, sepulangnya saya mendapat insiden, telur saya pecah karena terbanting di steer sepeda. Panik seketika dan tak tahu harus berbuat apa. Pulang pasti dimarahi, jujur ataupun bohong pasti akan dimarahi. Akhirnya, setiba di rumah, telur saya letakkan di kolong rumah. Lalu kembali ke warung, dengan mengutang. Tentu saya berbohong karena duit sudah tidak cukup lagi dan kembaliannya harus saya pertangunngjawabkan. Semua lancar pada awalnya. Tapi ternyata kebohongan tidak dapat ditutup-tutupi. Nenekku berjalan menuju kolong rumah dan menemukan semua alibi saya. Akhirnya paha saua menjadi kue berwarna biru memar karena cubitan dan juga pukulan batang pohon. Kemana kakek-ku? Dia sedang pergi saat itu.

Setibanya lulus dari sekolah dasar, kubawa semua kisah-kisahku di masa lalu untuk saya pelajari di SMP. Mulai dari kebanggaan peringkat saya yang tak pernah lepas dari 3 besar dan hanya sekali peringkat 4 karena terlalu banyak belibur di sulawesi dan itupun karena nenekku. Tapi tidak boleh menyalahkan beliau. Semua benar buatnya. Di bangku SMP tidak banyak yang berubah dari pingitan kakek nenek. Hanya saja saya bisa tumbuh kembang dengan kepribadian yang baru karena seragam yang baru pula. Peringkat selalu tak pernah lepas dari raport akhir semester saya. Sehingga saya menjadi lebih mudah untuk mendapatkan perhatian guru-guru. Bahkan saya bisa masuk ke perpustakaan dengan fasilitas lebih. Padahal saya adalah anak yang biasa-biasa saja. Saya hanya suka menjadi pemimpin upacara, karena sikapnya yang tegas dan saya yakinkan bahwa saya yang terbaik dari 3 angkatan saat itu. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan untuk masa SMP saya. Yang paling berkesan adalah ketika saya mendapat ciuman pertama kali oleh pacar saya saat itu. Sebelum kami berpisah, saya ke sekolah yang unggulan di kabupaten dan dia di SMA satu-satunya di kecamatan itu. Ciuman itu melekat di pipi saya dan posisinya kami berada di dalam WC. Saat itu kami baru saja pulang dari les bersama karena ujian nasional yang menyeramkan. Yaa, tentu ini tidak pernah diketahui oleh nenek, bil saja sempat. Maka bukan hanya biru di pahaku tapi satu desa akan tahu semua itu. Walaupun pada akhirnya rangkaian bunga dan boneka pemberian yang saya sembunyikan diketahui oleh nenek.

Inilah pertama kali saya berpisah dengan nenek dan kakek saya. Pada awalnya sangat susah untuk bisa mendapat izin sekolahyang jauh dari pengawasan beliau. Namun, karena dukungan dari keluarga dan sanak saudara, semua teratasi dan saya berangkat ke SMA favorit di Kabupaten saya KUTAI KARTANEGARA. SMA NEGERI 3 UNGGULAN TENGARONG lebih tepatnya. Sekolah yang didanai murni oleh Pemerintah Daerah, mulai dari kebutuhan primer dan sekundernya. Bila saya jabarkan, makan, tidur dan fasilitas belajar seperti gedung semua tersedia gratis. Lingkungan asrama tidak banyak merubah pola hidup saya. Tapi yang paling membedakan adalah saya terlepas dari cubitan di paha.

Saat ini saya sudah bisa merasakan bangku kuliah dari hasil perkebunan karet yang nilai jualnya fluktuatif. Bisa merasakan hiruk pikuknya pulau jawa tepatnya Yogyakarta adalah sebuah pencapaian yang cukup gemilang saya kira. Walaupun saya tidak kuliah di PTN Terkenal, tapi saya bangga dengan dunia saya, dunia kedirgantaraan, duniateknik penerbangan. Cita-cita dan planning hidup ke depan sudah tertulis dalam memory. Semua demi membahagiakan sosok mulia yang telah banyak kali mencubit paha saya hingga biru dan meneteskan air mata.

Indo’, Bapak... Malam ini saya menitipkan do’a kepada Allah SWT, agar kalian tetap berada pada lindungan-Nya. Sehat di masa tuamu hingga sampai pada waktunya kalian bisa menagis haru karena kesuksesan saya. Semua kekanganmu tidak pernah saya sesali, tidak pernah saya kutuk atau apapun itu. Tapi semua adalah jalan yang diciptakan oleh Allah SWT kepada saya. Mungkin berbeda apa yang saya tuliskan di sini jika saya bersama dengan orang tua kandung saya, Ayah dan Ibu.

Terimakasih nenek-ku yang telah memakai gigi palsu baru...

Terimakasih kakek-ku yang telah menngantarkanu ke gerbang sukses...

Terimakasih ALLAH... Engkau memberikan mereka yang terdalam di hatiku...

Yogyakarta, 1 Januari 2011

Indra Furwita Soaleh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline