Lihat ke Halaman Asli

Indra Charismiadji

Pemerhati dan Praktisi Pendidikan 4.0 yang peduli dengan Pembangunan SDM Unggul

Sekolah Anti-Gadget, Bentuk Disorientasi Lembaga Pendidikan Formal

Diperbarui: 2 Desember 2019   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi belajar tanpa gadget. (sumber: The Rowans School--rowans.org.uk))

Saya memang belum lama terjun dibidang pendidikan, baru kurang lebih 17 tahun saja, dan sejak awal sudah menjadi penggiat pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi, membantu implementasi teknologi di belasan ribu sekolah. 

Setahun belakangan ini saja, saya pribadi (bukan lembaga) telah berhasil memberikan pelatihan kepada kurang lebih 10,000 orang guru diberbagai tempat di Indonesia mulai dari kota-kota besar, kota-kota kecil, pedesaan, dan kepulauan, dari ujung Barat di Aceh sampai ujung Timur di Papua. Itupun hanya yang menggunakan konsep "blended learning" atau perpaduan antara tatap muka dan daring. 

Angka tersebut belum termasuk pelatihan yang dilakukan dalam jaringan baik menggunakan teknologi video conference atau yang menggunakan aplikasi Whatsapp dan Telegram. Mengapa angkanya begitu besar dalam waktu yang singkat? 

Jawabannya adalah pemanfaatan teknologi digital. Dengan memanfaatkan teknologi, saya bahkan bisa membuat lokakarya untuk guru (bukan seminar) yang diikuti oleh 314 orang dalam satu waktu dan sangat aktif. 

Dan teknologi digitalnya sudah berada ditangan mereka selama ini, hanya menggunakan ponsel cerdas saja. Bagaimana kualitasnya? Para pendidik merasa sangat terbantu dan testimoni bisa dilihat pada akun sosial media saya yang terbuka untuk konsumsi publik.

Masyarakat mengenal saya sebagai praktisi teknologi pendidikan karena hal-hal seperti ini yang selalu saya angkat termasuk di media televisi, radio, cetak, maupun online. 

Karena spesialisasi saya tersebut, setiap hari banyak pendidik yang mengirimkan saya berbagai artikel dan tulisan tentang dampak negatif dari penggunaan gadget serta berbagai alasan untuk menghindari penggunaannya, bahkan akhir-akhir ini semakin banyak porsi dan frekuensinya. Ternyata banyak pendidik yang tidak sepaham dengan saya dan itu wajar-wajar saja. 

Sebagai pendidik yang harus selalu terbuka akan berbagai macam sudut pandang, saya tidak pernah menampik fakta bahwa banyak dampak negatif yang muncul, namanya juga buatan manusia, tetapi karena itu pulalah perlunya pandangan penyeimbang dengan demikian para pendidik dan orang tua dapat membimbing generasi penerus bangsa dalam menggunakan gadget agar bermanfaat dalam kehidupan.

Beberapa hari yang lalu, senior saya dalam dunia pendidikan, Bapak Haidar Bagir, menuliskan opininya di Harian Kompas berjudul Sekolah Anti-Gadget. Sebuah opini yang menarik tentang pendidikan dari satu sudut pandang. 

Sebagai seorang praktisi pendidikan, saya rasa perlu memberikan pandangan dari sisi lain agar seimbang. Tulisan ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan siapapun, dan untuk itu saya menghaturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya dulu di awal tulisan apabila ada pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan tulisan ini. Tidak ada maksud untuk menyinggung perasaan siapapun juga, hanya pandangan akademis saja.

Jika kita mengacu pada 4 pilar pendidikan yang disusun oleh UNESCO, maka didalam sistem pendidikan wajiblah ditumbuhkan kemampuan-kemampuan berikut: Learning to Know (belajar untuk mengetahui), Learning to Do (belajar untuk melakukan sesuatu), Learning to Be (belajar untuk menjadi sesuatu), dan Learning to Live Together (belajar untuk hidup bersama). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline