Lihat ke Halaman Asli

Ketika Pedagang Kaki Lima Duduki Balai Kota

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13898424051531347341

Seperti biasa, pukul 06.45 aku memacu supra fit tungganganku menuju tempat mengajar yang terletak kira-kira 8 kilometer dari rumah. Pagi ini awan mendung dengan setia menaungi perjalananku. Memang musim penghujan diprediksi akan mencapai puncaknya bulan ini, Januari.

Pemandangan tak biasa tersaji tak kala aku melewati kantor Walikota Jambi. Puluhan pedagang berjejer rapi menawarkan dagangannya di trotoar jalan depan kantor walikota. Beberapa hari lalu aku sempat membaca berita bahwasanya ratusan pedagang angso duo yang direlokasi menggelar aksi buka lapak di halaman kantor walikota. Mereka tidak terima dengan tempat berjualan baru yang dinilai sepi pembeli. Mereka juga menuntut untuk bertemu langsung dengan walikota yang di saat itu sedang menemani kunjungan istri menteri dalam negeri, Vita Gamawan Fauzi. Namun itu berita yang ku baca beberapa hari lalu, tidak disangka ternyata sampai hari ini mereka masih melakukan aksi yang sama.

Kejadian ini adalah buntut dari kebijakan pemerintah kota untuk memindahkan pedagang yang berjualan di badan jalan ke belakang los pasar yang saat ini merupakan area kosong. Memang harus diakui, keberadaan para pedagang yang memakan badan jalan sangat mengganggu pengguna jalan. Terlebih lagi, jalan tersebut merupakan satu-satunya akses menuju tempat perbelanjaan modern WTC, Hypermart dan jambi bagian timur, Muara Sabak. Sehingga tidak mengherankan jika setiap pagi selalu terjadi kemacetan disana karena jejalan kendaraan tidak bisa mengalir lancar disebabkan penyempitan badan jalan oleh para pedagang tersebut. Hal lain yang perlu di perhatikan adalah kesemrawutan pasar angso duo menjadi pekerjaan rumah pemerintah kota untuk penghargaan Adipura atau penghargaan bagi kota berpredikat bersih.

Namun disisi lain, tentu ada alasan kuat kenapa para pedagang tersebut tidak ingin dipindahkan. Mereka menyatakan bahwa dagangan mereka lebih laku jika menghamparkannya di badan jalan. Hal ini sangat masuk akal jika melihat bagaimana kumuh dan pengapnya suasana dalam pasar tersebut. Pembeli cenderung memilih untuk membeli dagangan yang berada di luar. Meskipun sama beceknya dengan di dalam, paling tidak masih ada udara segar disana. Perbaikan fasilitas sepatutnya menjadi program utama sebelum pemegang tampuk kepemimpinan di kota ini memutuskan untuk merelokasi pedagang. Sehingga pembeli merasa lebih nyaman untuk memasuki pasar tradisional yang telah lama berdiri ini.

SY. FASYA DAN JOKOWI

Masih terekam jelas di benak masyarakat kota jambi saat-saat menjelang pemilu walikota tahun lalu. SY Fasya yang saat itu diusung partai Golkar meminang Abdullah Sani yang di back up PDIP. Fenomena Jokowi yang merakyat jelas menjadi alasan penting kenapa Fasya memilih untuk berkoalisi dengan PDIP.

Baliho-baliho besar yang memuat foto Fasya-Sani bersama Jokowi terbentang di jalan-jalan utama. Benar saja, pasangan Fasha-Sani seperti mendapatkan kharisma jokowi sehingga pada saat pemilu bergulir, mereka bisa menumbangkan pesaing terkuat Sum Indra yang notabene masih keluarga Nurdin yang pengaruhnya mengakar kuat di Jambi.

Sejatinya, permasalahan yang sedang dialami fasya saat ini persis sama dengan apa yang dihadapi jokowi pada tahun 2010 silam, saat ia masih menjabat walikota solo, yaitu penertiban pedagang kaki lima. Pada eranya, jokowi berpandangan bahwa “berdagang adalah hidup mereka, bukan cuma perut mereka sendiri, tetapi juga anak-anak.” Sehingga jokowi sangat berhati-hati ketika akan merelokasi mereka.

Yang dilakukan jokowi adalah lobi “meja makan”. Berulang kali ia mengajak makan bersama para PKL tersebut hingga setelah makan bersama yang ke-54, barulah ia mengutarakan maksud sebenarnya, yaitu ingin memindahkan mereka. Aneh tapi nyata, para PKL tersebut manut dengan apa yang dikatakan jokowi. Ternyata benar bahwasanya orang yang berperut kenyang akan lebih bisa berfikir jernih dibandingkan mereka yang lapar, cenderung beringas kasar. Hal yang sangat terbalik pasti akan terjadi apabila jokowi melakukan aksi spartan dengan langsung menggusur mereka.

Saat itu, jokowi pun tidak serta merta menjanjikan bahwasanya dagangan mereka akan laris manis setelah pindah ke tempat yang baru. Namun jokowi berjanji untuk mengiklankan tempat baru tersebut di media cetak dan televisi serta menggratiskan sewa kios-kios tersebut. Pedagang hanya diminta untuk membayar retribusi harian sebesar 6.500 rupiah saja.

Saat hari relokasi, acara dibuat meriah dengan arak-arakan para pedagang yang membawa tumpeng simbol kemakmuran dengan pengawalan prajurit keraton berpakaian lengkap. Mereka yang sangat dimanusiakan oleh jokowi tidak berkeberatan untuk pindah ke lokasi baru.

Gaya kepemimpinan seperti inilah yang selayaknya bisa ditiru oleh Fasya jika ingin berhasil memindahkan para pedagang ini. Bukan rahasia umum lagi jika ada preman-preman yang membayangi mereka. Jika gaya spartan tetap dipilih untuk penggusuran, saya rasa preman-preman tersebut sudah terbiasa dengan cara ini. Sampai kapanpun, cara kekerasan tidak akan pernah menghasilkan win win solution. Di tambah lagi, berdagang bukan hanya menyangkut hajat hidup mereka sendiri, namun juga anak-anak mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline