Pemuda atau lebih tepatnya mahasiswa masih menjadi sebuah kasta yang patut diperhitungkan di tengah-tengah masyarakat terlebih pada lapisan dan tingkatan akar rumput. Masih tersemat harapan besar di pundak mahasiswa sebagai sosok ideal yang masih memiliki idealisme yang tinggi, energik dan selalu bersemangat disetiap kesempatan.
Kesempatan menjadi mahasiswa di negeri ini terbilang masih mahal tetap bertahan pada level tersier. Pasalanya, baru 7,2 persen anak bangsa nikmati bangku kuliah (Pikiran Rakyat, 05/12). Indonesia adalah negara yang memiliki lebih dari 220 juta penduduk, namun untuk tingkat partisipasi kasar pendidikan tinggi baru mencapai 18,4 persen terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun (Kompas, 3/11).
Kesempatan Emas
Berdasar fakta di atas, menjadi seorang mahasiswa tidak boleh disepelekan apalagi berlalu begitu saja dengan kehampaan. Mahasiswa adalah entitas untuk perubahan. Mahasiswa dengan entitas dan identitasnya merupakan sebuah keberadaan yang unik dan berbeda. Pemuda (syabab), mahasiswa sebuah entitas dan identitas kekuatan intelektualitas masyarakat sekaligus sebagai pembawa dan penjaga nilai-nilai ideal dalam sebuah tatanan kehidupan masyarakat. Karena orientasi idealis dan pembelaannya pada kebenaran, sebagian ahli memasukkannya ke dalam kelompok cendikiawan (Arief Budiman 1983: 150).
Menjadi mahasiswa adalah kesempatan emas. Kesempatan emas jika menjadi salah satu pemberi solusi bukan menjadi bagian dari masalah. Hal ini dikarenakan, mahasiswa adalah usia produktif dalam hal fisik dan pemikiran. Fase teratas tahap kritis dan ketterbukaan. Kampus terutama, tempat lahirnya para penentu kebijakan serta laboratorium multidimensional yang menggambarkan miniatur sebuah negara. Lain halnya, mahasiswa memiliki posisi tawar sebagai statusnya sebagai mahasiswa yang cukup di perhitungkan, termasuk di masyarakat.
Pembentukan nilai-nilai idealis pada masa mahasiswa telah mengantar mahasiswa kepada gelangang arena perubahan sosial di dalam masyarakat. Tidak surut dalam ingatan kita bahwa gerakan mahasiswa (gema) angkatan ’66 yang bersatu dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam melawan PKI. Pada tahun 1966 juga, saat presiden Soekarno menetapkan sistem presidensil. Gerakan mahasiswa di Indonesia mulai terlibat untuk memperjuangkan sebuah orde yang baru, solusi perubahan.
Tidak sampai di situ, mahasiswa tetap berada di garda terdepan dalam mengusung solusi perubahan pada masa-masa selanjutnya. Pada tahun 1974 dan 1975 terjadi peristiwa Malari dan titik nadirnya pada tahun 1998 mahasiswa menurunkan rezim Orde Baru.
Problem Orientasi Mahasiswa
Gerakan-gerakan mahasiswa yang pernah muncul selama ini tampaknya belum mampu membawa kepada perubahan hakiki. Perubahan sosial yang membawa kepada kehidupan sosial yang bermartabat dengan Islam sebagai basisnya. Mungkin, jenuh menerpa diantara kita bahwa di saat mahasiswa idealisme kebenaran dijunjung tinggi namun di saat ditawari kekuasaan dengan partisipasi aktif di lembaga negara membawa realitas dan pragmatisme bicara lebih tajam daripada idealisme.
Arah dan kecenderungan gerakan mahasiswa (gema) sebagai social movement lahir dari konsep keterdesakan dan ketertindasan. Semakin parah pemerintah menyelewengkan kekuasaan maka akan berbanding lurus pula arah perjuangan dan pergolakan mahasiswa. Inilah kecenderungan social movement. Mahasiswa sama-sama sadar masalah namun untuk sadar akan tataran solusi bersama untuk diusung dan mengisi perubahan selanjutnya mereka akan terpecah belah. Boleh jadi, inilah faktor idealiasme hanya hadir di dunia mahasiswa karena yang nampak hanya sadar masalah namun di saat mengisi dan melanjutkan arah perubahan berubah menjadi pragmatisme dikarenakan mereka tidak menemukan kata sepakat dalam tataran solusi. Solusi mereka hanya mengedapankan kepentingan perut dan kepentingan kelompok mereka.
Solusi : Islamic Ideological Movement
Mandulnya mahasiswa mengusung, mengawal, hingga mengisi sebuah perubahan sosial perlu direvisi ulang untuk mendapatkan solusi yang benar-benar tuntas. Penggalian solusi harus radikal bukan sekedar menilai dari yang tampak di permukaan saja namun harus melibatkan sesuatu yang Azali, memuaskan akal, menentramkan jiwa serta mampu menjawab sebelum dan sesudah penciptaan alam semesta.
Solusi ini bukan untuk golongan tertentu sambil mendikotomikan dan mengesampingkan yang lain, namun akan menjadi sebuah kebenaran yang bisa diterima oleh siapa saja berdasarkan pembuktian, dalil aqli maupun pembuktian secara naqli. Ideologi Islam telah menggabungkan kesemua syarat tersebut. Keuniversalan Islam ditunjukkan dalam nash berikut ini. “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”[TQS Saba’ (34):28]. Begitu juga hadis-hadis dari Rasulullah Saw, salah satunnya adalah di dalam riwayat Imam Muslim bahwa Nabi bersabda: “Adapun para nabi sebelum aku mereka di utus khusus untuk kaumnya,dan aku di utus untuk semua kalangan dari yang merah hingga yang hitam.” Islam dengan ushul ‘aqidah dan hukumnya merupakan pemikiran mendasar yang diatasnya dibangun pemikiran-pemikiran cabang termasuk di dalamnya adalah solusi perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H