Lihat ke Halaman Asli

INDRA

Mahasiswa

Cahaya di Balik Topeng Las

Diperbarui: 29 September 2024   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara desis las memecah keheningan subuh. Di bawah langit yang masih gelap, sosok Ayah sudah berdiri tegap, topeng las menutupi wajahnya yang mulai dihiasi keriput. Percikan api menari-nari, memantulkan cahaya pada keringat yang mulai mengalir di dahinya.

Aku mengintip dari jendela kamar, menyaksikan ritual pagi yang sama setiap harinya. Ayah, dengan tubuh kurusnya yang mulai renta, masih setia memikul beban keluarga di pundaknya.

"Dik, tolong bawakan kopi untuk Ayah," suara Ibu terdengar dari dapur.

Aku bergegas ke dapur, mengambil secangkir kopi hitam pekat (kopi favorit ayah). Dengan hati-hati, aku melangkah ke halaman belakang tempat Ayah bekerja.

"Yah, kopinya," ujarku pelan.

Ayah mengangkat topeng lasnya, senyum hangat terukir di wajahnya yang lelah. "Terima kasih, Nak," ucapnya sambil menerima cangkir itu.

Aku memperhatikan tangannya yang kasar dan penuh luka bakar kecil, bukti nyata perjuangannya selama bertahun-tahun. Namun, tak pernah sekalipun aku mendengar keluhan dari bibirnya.

"Ayah tidak capek?" tanyaku hati-hati.

Ayah terkekeh pelan. "Capek? Tentu saja. Tapi kamu tahu tidak, Nak? Rasa capek ini hilang setiap kali Ayah ingat senyum kalian."

Hatiku terenyuh mendengar ucapannya. Aku teringat bagaimana Ayah selalu berusaha pulang tepat waktu untuk makan malam bersama, bagaimana ia rela begadang membantu adikku mengerjakan PR, dan bagaimana ia selalu menyisihkan uang untuk tabungan pendidikan kami.

"Nak," panggil Ayah, membuyarkan lamunanku. "Lihat bintang-bintang itu?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline