Gadis kecil menari di bawah hujan. Dibelai desir angin. Didendangkan gemericik dan gemuruh. Menabuh nada riang dalam hati. Segaris senyum menutup tawa, dan secuil kata-kata yang tersimpan di dalam dada.
Keresahan luruh ke bumi. Mengalir menuju selokan mampet di ujung jalan. Baginya, hujan penawar segala resah. Tak ada selimut di kasur empuk, atau segelas susu hangat dan belaian manja.
Ia terbiasa mengarungi kehidupan keras di bawah terik mentari. Dihempas dari kasih sayang orang tua. Hilang dari pandangan orang-orang berada.
Di usia dini, hidupnya berteman perih. Hardikan, omelan dan caci-maki, hanyalah angin lalu. Di jalanan, setan dan malaikat cuma numpang lewat.
Hujan berhenti, gadis kecil terlihat kecewa. Ia berbaring di atas trotoar yang telah lama beralih fungsi menjadi lapak-lapak barang bekas. Menggigil kedinginan.
Hingga tangan kecilnya menyusuri tumpukan baju-baju bekas. Memilih dan memilah pakaian ganti di balik terpal. Diburu waktu, ia harus bergegas. Sebelum lelaki tua yang tertidur pulas di samping lapak terbangun.
Gadis kecil berlari. Percikan-percikan air membentangkan pelangi, di setiap langkahnya menapaki genangan sisa hujan. Dan terhenti di depan bedeng kusam di belakang pasar loak.
"Makan yang banyak, Gemala. Orang susah tak boleh sakit!" Mbok Jum berkata, seraya menghidangkan semangkuk mie rebus di atas meja.
Ditatapnya paras Gemala. Gadis kecil yang mengingatkannya untuk selalu bersyukur. Hidup untuk hari ini. Besok apa terjadi. Tetap harus dijalani. Kebahagiaan atau sakit. Semuanya ditentukan oleh hati kita sendiri.
Ia mengusap kepala sang gadis yang masih basah. Dan kembali menyeduh air untuk membuat teh tubruk. Dua gulung kertas koran dan botol plastik, digunakan sebagai pengganti kayu bakar.